Biografi Dan Profil Lengkap Raden Ajeng Kartini (R.A Kartini) Sang Pendekar Emansipasi Wanita
Selamat
Datang di Web Pendidikan edukasinesia.com
Hallo
sobat Edukasi Lovers,senang sekali rasanya pada kesempatan kali ini saya dapat
membagikan artikel untuk menambah pengetahuan dan wawasan sobat Edukasi Lovers
semua.Artikel yang akan saya bagikan pada kesempatan kali ini berjudul Biografi Dan Profil Lengkap Raden Ajeng Kartini (R.A Kartini) Sang
Pendekar Emansipasi Wanita
Berikut Ini Pembahasan
Selengkapnya:
Nama
Lengkap: Raden Ajeng Kartini
Tempat,Tanggal
Lahir:Kota Jepara (Jawa Tengah),21 April 1879
Nama Lain: Raden Ayu
Kartini
Dikenal Luas
Karena: Tokoh Emansipasi Wanita&Pahlawan Nasional Indonesia
Agama: Islam
Wafat : 17
September 1904 (Umur 25)
Nama Ayah:R.M.Sosroningrat
Nama Ibu: M.A
Ngasirah
Nama
Pasangan/Suami: K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
Nama Anak: Soesalit
Djojoadhiningrat
Jumlah
Saudara : 11
Anak Ke: 5
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 atau sebenarnya lebih tepat
disebut Raden Ayu Kartini
adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia yang
dikenal dengan sebutan tokoh yang menegakkan emansipasi wanita. Kartini
dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Tokoh
wanita satu ini sangat terkenal di Indonesia.Raden Ajeng Kartini atau dikenal
sebagai R.A Kartini, dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang sangat gigih
dalam menegakkan dan memperjuangkan emansipasi wanita kala ia hidup.
Oleh
karena itu Hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari Kartini untuk
menghormati jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia
Raden Ajeng Kartini
berasal dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa. Oleh
sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu
sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah
menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu)
menurut tradisi Jawa.
Raden Ayu adalah
gelar untuk wanita bangsawan yang menikah dengan pria bangsawan dari keturunan
generasi kedua hingga ke delapan dari seorang raja Jawa yang pernah memerintah,
sedang penggunaan gelar R.A. (Raden Ajeng) hanya berlaku ketika belum menikah.
R.A Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.
Ayah Kartini pada
mulanya adalah seorang wedana di Mayong.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati
beristerikan seorang
bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah
lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah
perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara
menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
R.A
Kartini sendiri memiliki saudara berjumlah 11 orang yang terdiri dari saudara
kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia
merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara.
Kakeknya, Pangeran
Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada
pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi
pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini kecil
diperbolehkan untuk
bersekolah di ELS (Europese
Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12
tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa
berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat
kepada teman-teman korespondensi yang
berasal dari Belanda. Salah
satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari
buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir
perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena
ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak
membaca surat kabar Semarang De
Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko
buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini
pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di
De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja
dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini
menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak
hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang
dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah
dibacanya dua kali. Lalu De
Stille Kraacht (Kekuatan
Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi,
karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya
Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von
Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya
berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya,
Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang,
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga
istri. Kartini menikah pada tanggal 12
November 1903. Suaminya mengerti
keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah
wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau
di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
![]() |
Ket.Gambar:R.A Kartini Bersama Dengan Suaminya |
Anak pertama dan
sekaligus terakhirnya ialah Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904.Namun beberapa hari kemudian, tanggal 17 September 1904,
Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu,Kecamatan
Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya
Kartini, kemudian didirikanlah Sekolah Wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang pada 1912,
dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta,Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh
keluarga Van Deventer, seorang
tokoh Politik Etis.
Pemikiran-Pemikiran Raden Ajeng Kartini
Meskipun hanya berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau kegiatan surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau (Kartini) juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi yang memprihatinkan.Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut dengan budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan para perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Meskipun hanya berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau kegiatan surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau (Kartini) juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi yang memprihatinkan.Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut dengan budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan para perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini
juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan
dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan
untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus
dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia
dimadu.
Surat-surat Kartini
banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang
ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan
cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia
disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak
mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk
sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini
untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang
hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.
Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi
saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi
Kartini dan adiknya Rukmini.
Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
...Agama
harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa
diperbuat orang atas nama agama itu - (R.A Kartini)."
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau
memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A
Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat
perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi.
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.
Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami, dan mengapa mengapa kitab suci itu
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.
Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami, dan mengapa mengapa kitab suci itu
Teman
wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle "Stella" Zeehandelaar
juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini. Sejarah
mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru
sesuai dengan cita-cita namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk
belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.
Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia atau pun kuliah di negeri Belanda meskipun ketika itu ia menerima beasiswa untuk belajar kesana sebab pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri.
Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia atau pun kuliah di negeri Belanda meskipun ketika itu ia menerima beasiswa untuk belajar kesana sebab pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri.
Surat-Surat Yang Berkaitan Dengan R.A Kartini
Setelah Kartini
wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan
surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari
Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima
kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu
dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat
Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlahHabis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku
menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas
kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh
Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya
surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran
Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh kebangkitan nasional
Indonesia, antara
lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu
Kita Kartini.
Pada pertengahan
tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi
guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini
mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat
dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi,
karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen
pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini
untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang
pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi
lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra
kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak
hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi
perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar
Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran
Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi
manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan
impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk
mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan
Adipati Rembang.
Kontroversi
Munculnya
Perdebatan Surat-Surat Yang Ditulis Oleh R.A Kartini.
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal
kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak
begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja,
namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar
tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena
masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah
perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah
memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga
bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan
berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya
seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia
saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Peringatan Hari Kartini
Presiden Soekarno pada waktu itu mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108
Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal
21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian
dikenal sebagai Hari Kartini.
Karya Buku Tentang Raden Ajeng Kartini
Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya
Sulastin menerjemahkan Door
Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972.
Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan
buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin
bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan
Sulastin Sutrisno versi lengkap Door
Duisternis Tot Licht pun
terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan
judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan
seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa,
yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa
Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap
surat-surat Kartini yang ada pada Door
Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai
dalam buku Kartini,
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Panggil Aku Kartini Saja
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih
memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari
pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan
suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin
Sutrisno memberi gambaran baru
tentang Kartini lewat buku Kartini
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya
lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon,
diterbitkan dalam Door
Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat
maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam
surat tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis
pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan
sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini
adalah seorang vegetarian. Dalam
kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir.
Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal
lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Letters from Kartini, An Indonesian
Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini
adalah Letters from Kartini,
An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak
hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli
Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku
terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan
tidak ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada
dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters
from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada
Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di
dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Aku Mau ... Feminisme dan
Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar
periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya
memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr
Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku
Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal
ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan
bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya,
agama, bahkan korupsi.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada 1922,
oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah
Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Armijn Pane, salah
seorang sastrawan pelopor Pujangga
Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938,
buku Habis Gelap Terbitlah
Terang diterbitkan kembali
dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu,
surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa
Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan
buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima
bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan
atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku
versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya
terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis
Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah
untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane,
surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini
pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke
dalam lima bab pembahasan.
Demikianlah
Artikel lengkap yang berjudul Biografi Dan Profil Lengkap Raden Ajeng Kartini (R.A Kartini) Sang
Pendekar Emansipasi Wanita.Semoga
dapat bermanfaat bagi Sobat Edukasi Lovers semuanya.Jika artikel ini bermanfaat sudi
kiranya bagi sobat semua untuk mengelike dan membagikan artikel ini untuk
menjaga kelangsungan web pendidikan edukasinesia.com ini menjadi lebih baik.Jika ada
permintaan,pertanyaan,komentar,maupun saran,silahkan berikan komentar sobat
semua di kolom komentar di bawah ini.
Terima Kasih…
Salam Edukasi…