Selamat Datang di Web Pendidikan www.edukasinesia.com
Hallo sobat Edukasi
Lovers, senang sekali rasanya pada kesempatan kali ini saya dapat membagikan
artikel untuk menambah pengetahuan dan wawasan sobat Edukasi Lovers semua. Artikel
yang akan saya bagikan pada kesempatan kali ini berjudul Sejarah Demokrasi Yang Dilaksanakan Di
Indonesia
Berikut Pembahasan Selengkapnya:
1.
Perkembangan Demokrasi Masa Revolusi Kemerdekaan
Implementasi
demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan baru terbatas pada
interaksi politik di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi
kemerdekaan. Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan
demokrasi pada periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan
hal-hal mendasar. Pertama, pemberian akan hak-hak politik secara
menyeluruh. Kedua, Presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk
menjadi diktator. Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan
terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi
sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa yang selanjutnya dalam sejarah
kehidupan politik Indonesia.
Periode kedua pemerintahan negara
Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959,dengan menggunakan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pada masa ini adalah masa
kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat
ditemukan dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen memainkan
peranannya yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.
Demokrasi Parlementer adalah suatu
demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada
badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana
menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan
diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer, Presiden menjabat
sebagai kepala negara saja. Nama Demokrasi Liberal dikenal pula sebagai
demokrasi parlementer karena pada saat itu berlangsung sistem pemerintahan
parlementer dan berlaku UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS
1950.Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri dari demokrasi parlementer:
1)
Kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat lebih kuat atau lebih tinggi daripada pemerintah.
2)
Kekuasaan
eksekutif dijalankan oleh kabinet/Dewan menteri di bawah pimpinan Perdana
Menteri dan bertanggung jawab pada Parlemen.
3)
Program kebijakan
kabinet disesuaikan dengan tujuan politik anggota parlemen.
4)
Kedudukan
Presiden hanya menjabat sebagai Kepala Negara saja, sedangkan jabatan Kepala
Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri.
5)
Kedudukan Kepala
Negara terpisah dari kepala pemerintahan, biasanya hanya berfungsi sebagai
simbol negara.
6)
Kekuasaan
Yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas.
7)
Jika pemerintah dianggap tidak mampu, maka
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat
meminta mosi tidak percaya kepada Parlemen untuk membubarkan pemerintah.
Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah
mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus
meletakkan jabatannya. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini
merupakan contoh konkret dari tingginya akan akuntabilitas pemegang jabatan dan
politisi. Ada hampir empat puluh partai (40) yang terbentuk dengan tingkat
otonomi yang tinggi dalam proses rekrutmen baik pengurus, atau pimpinan
partainya maupun para pendukungnya.
Namun demokrasi parlementer ini mengalami kegagalan dalam
perkembangannya, alasan kegagalan tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Dominannya
politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik.
2)
Basis sosial
ekonomi yang masih sangat lemah.
3)
Persamaan
kepentingan antara Presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat, yang
sama-sama tidak senang dengan proses politik yang berjalan.
Sejak berakhirnya pemilihan umum (pemilu)
1955,Presiden Soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada
Partai-Partai Politik. Hal itu terjadi karena Partai Politik sangat orientasi
pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan akan kepentingan
politik nasional secara menyeluruh di samping itu juga, Soekarno melontarkan
gagasan bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan gotong royong. Politik
pada periode ini diwarnai oleh tolak ukur yang sangat kuat antara ketiga
kekuatan politik yang utama pada waktu itu, yaitu: Presiden Soekarno, Partai
Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat. Karakteristik yang utama dari demokrasi
terpimpin di antaranya adalah menggabungkan sistem kepartaian, dengan
terbentuknya DPR-GR peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional
menjadi sedemikian lemah, Basic Human Right menjadi sangat lemah, masa demokrasi
terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers, sentralisasi
kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah.
Menurut pandangan A. Syafi’i
Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai
“Ayah” dalam Family besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian,
kekeliruan yang besar dalam demokrasi
terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi
yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri
pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang
pengawas sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
Pada Periode ini budaya demokrasi
mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, politik dan
ideologi. Tahun-tahun awal pemerintahan orde baru ditandai oleh adanya kebebasan
politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai
Presiden ke-2 Republik Indonesia menerapkan model demokrasi yang berbeda lagi
dari yang sebelumnya, yaitu yang dinamakan dengan Demokrasi Pancasila, untuk
menegaskan bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan
ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila. Pelaksanaan demokrasi pada masa orde
baru dimulai pada tahun 1966.
Pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden
Soeharto, mengawali jalannya pemerintahan dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Berdasarkan pengalaman pada masa orde lama, pemerintahan
orde baru berupaya keras untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan
untuk menjalankan pemerintahannya.
Orde baru menganggap bahwa penyimpangan
terhadap Pancasila dan UUD 1945 adalah sebab utama kegagalan dari pemerintahan
sebelumnya. Orde baru merupakan tatanan peri kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia atas dasar pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Demokrasi yang dijalankan dinamakan dengan “Demokrasi
Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dijalankan didasarkan atas
nilai dari sila-sila yang terdapat pada Pancasila.
Namun, pada praktiknya, cita-cita luhur
bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang demokratis tersebut justru runtuh
dikarenakan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah, terutama oleh Presiden
sendiri. Pada masa orde baru ini, pemerintah Indonesia menjadi negara totaliter. Kondisi tersebut
dapat terjadi dikarenakan beberapa hal-hal berikut:
1)
Hak-Hak Politik
Rakyat Sangat Dibatasi
Sejak tahun 1973,jumlah partai politik di Indonesia dibatasi hanya
berjumlah ada tiga partai saja. Pegawai pemerintahan dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) diharuskan untuk mendukung Partai
Penguasa. Pertemuan-pertemuan politik harus mendapatkan izin dari penguasa. Para
pengkritik pemerintah dikucilkan secara politik, bahkan juga ada yang
disingkirkan secara paksa. Meskipun pers dinyatakan bebas, pada kenyataannya
pemerintah dapat memberangus penerbitan pers yang dianggap berseberangan dengan
pemerintah. Di samping itu, ada perlakuan yang diskriminatif terhadap anak
keturunan orang yang dianggap terlibat dalam G30S/PKI.
2)
Pemusatan
Kekuasaan di Tangan Presiden
Meskipun pada masa orde baru ini tampuk kekuasaan negara dibagi menjadi
berbagai lembaga negara yang formal seperti DPR, MPR, DPA, MA, dan sebagainya. Pada
praktiknya lembaga-lembaga tinggi negara tersebut dikendalikan oleh Presiden.
3)
Pembentukan
Lembaga Ekstrakonstitusional
Pemerintah membentuk lembaga yang bernama Kopkamtib (Komando
Pengendalian Keamanan dan Ketertiban),yang berfungsi untuk mengamankan
pihak-pihak yang berpotensial menjadi oposisi penguasa dengan segala cara untuk
melanggengkan kekuasaannya.
4)
Pemilihan Umum
Yang Tidak Demokratis
Pada masa orde baru, pemilihan umum (pemilu) memang dilaksanakan setiap
lima (5) tahun sekali. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pemilu tersebut tidak
berlangsung secara demokratis. Partai penguasa melakukan berbagai cara dan
tindakan agar memenangkan dapat memenangkan pemilihan umum.
5)
Adanya
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Yang Merajalela.
Pelaksanaan pemerintahan negara yang terlalu sentralistik (terpusat)
pada masa orde baru mengakibatkan merajalelanya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) di dalam berbagai bidang. Hal ini tentu mengakibatkan rakyat yang semakin
sengsara, hingga timbul sebuah istilah yang mengatakan bahwa yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin. Orde baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan
yang kuat dan relatif otonom, sementara masyarakat semakin terisolasi dari
lingkungan kekuasaan dan proses formulasi kebijakan. Keadaan ini merupakan
dampak dari berikut ini:
a)
Kemenangan mutlak
Partai Golongan Karya (Golkar) dalam pemilihan umum (pemilu) yang memberi
legitimasi politik yang kuat kepada negara.
b)
Dijalankannya
regulasi-regulasi politik semacam birokratisasi, depolitisasi, dan
institusionalisasi.
c)
Intervensi negara
terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan kepada negara untuk
mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi.
d)
Penggunaan
pendekatan keamanan.
e)
Suksesnya negara
orde baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sehingga
menyumbat gejolak masyarakat yang potensinya muncul karena sebab struktural.
f)
Tersedianya
sumber biaya pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari
komoditas nonmigas dan pajak domestik, maupun yang berasal dari bantuan luar
negeri.
6)
Adanya
Diskriminasi Terhadap Etnis Tertentu
Pada masa orde baru juga terjadi sebuah
tindakan diskrimatif terhadap golongan etnis tertentu. Misalnya saja, warga
keturunan Tionghoa dilarang untuk berekspresi. Sejak tahun 1967,warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di
bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi
mereka.
Pemerintahan orde baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya
ketika itu mencapai kurang lebih lima juta jiwa dari keseluruhan rakyat
Indonesia, dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah
Air. Padahal, pada kenyataannya, kebanyakan dari keturunan Tionghoa berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme.
Menurut
M. Rusli Karim, rezim orde baru ditandai oleh dominannya peranan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),adanya birokratisasi dan sentralisasi
pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, adanya
campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa
mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga non
pemerintah. Beberapa karakteristik khusus pada masa Orde Baru antara lain:
rotasi kekuasaan eksekutif boleh
dikatakan hampir tidak pernah terjadi, rekrutmen politik bersifat
tertutup, pemilihan umum yang tidak demokratis, dan tidak tercapainya pelaksanaan
hak dasar warga negara.
Sejak runtuhnya orde baru yang
bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto dari kursi
jabatannya, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia memasuki suasana kehidupan
kenegaraan yang baru. Sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan
terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku
sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya
Undang-Undang Dasar Tahun 1945,karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan
tatanan kehidupan kenegaraan pada masa orde baru.
Dengan di amandemennya UUD 1945,terutama
yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya lagi perubahan terhadap
aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga
negara, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model
demokrasi yang dilaksanakan dibandingkan dengan model demokrasi pancasila di
era orde baru. Dalam Pemerintahan Presiden Habibie inilah muncul beberapa
indikator demokrasi di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers
sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan
kenegaraan. Kedua, diberlakukannya sistem multi partai dalam pemilihan umum tahun
1999.
Demokrasi yang diterapkan oleh negara
kita pada era reformasi ini adalah Demokrasi Pancasila, namun tentu saja dengan
karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan mirip dengan demokrasi
parlementer tahun 1950-1959.Berikut ini merupakan beberapa ciri-ciri atau karakteristik Demokrasi Pancasila pada era
reformasi:
1)
Pemilihan umum
(Pemilu) yang dilaksanakan tahun 1999-2004 jauh lebih demokratis daripada yang
sebelumnya.
2)
Rotasi kekuasaan
dilaksanakan dimulai dari pemerintahan pusat sampai pada pemerintahan tingkat
desa.
3)
Pola rekrutmen
politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.
4)
Sebagian besar
hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat bagi
masyarakat Indonesia.
Demikianlah Artikel
lengkap yang berjudul Sejarah
Demokrasi Yang Dilaksanakan Di Indonesia. Semoga dapat bermanfaat bagi Sobat Edukasi Lovers semuanya. Jika artikel ini bermanfaat sudi
kiranya bagi sobat semua untuk mengelike dan membagikan artikel ini untuk
menjaga kelangsungan web pendidikan edukasinesia.com ini menjadi lebih baik. Jika ada
permintaan, pertanyaan, komentar, maupun saran, silahkan berikan komentar sobat
semua di kolom komentar di bawah ini.
Terima Kasih…
Salam
Edukasi…