Teori-Teori Perilaku Menyimpang Beserta Penjelasannya Terlengkap



Teori-Teori Perilaku Menyimpang Beserta Penjelasannya Terlengkap
Teori-teori Perilaku Menyimpang Beserta Penjelasannya Terlengkap


Teori-Teori Perilaku Menyimpang Beserta Penjelasannya Terlengkap

Selamat Datang di Web Pendidikan edukasinesia.com

Halo sobat Edukasi Lovers, senang sekali rasanya pada kesempatan kali ini saya dapat membagikan artikel untuk menambah pengetahuan dan wawasan sobat Edukasi Lovers semua. Artikel yang akan saya bagikan pada kesempatan kali ini berjudul Teori-Teori Perilaku Menyimpang Beserta Penjelasannya Terlengkap


Berikut Pembahasannya

Beberapa ilmu yang mempelajari perilaku menyimpang selain sosiologi adalah psikologi (teori yang berlandaskan psikoanalisa dari Freud), antropologi, hukum (kriminologi), dan biologi (teori Lambroso). Mengapa orang melakukan penyimpangan?. Ada beberapa teori dalam sosiologi yang dapat menjelaskan mengapa penyimpangan terjadi. Edward H. Sutherland dan Edwin M. Lemert melakukan penjelasan dari segi mikrososiologi, yaitu dengan mencari akar penyimpangan pada interaksi sosial yang dilakukan individu. Emile Durkheim dan Karl Marx melakukan penjelasan perilaku menyimpang dari segi makrososiologi.

1.     Teori Differential Assosiation
Edward H. Sutherland memandang bahwa perilaku menyimpang bersumber pada pergaulan yang berbeda (differential association), artinya seorang individu mempelajari sebuah perilaku menyimpang dari interaksinya dengan seorang individu yang berbeda latar belakang asal, kelompok, atau budaya. Dikatakan bahwa penyimpangan itu dipelajari melalui proses alih budaya (cultural transmission).

Melalui proses belajar ini, seseorang mempelajari suatu perilaku penyimpang atau subkebudayaan menyimpang, misalnya seorang anak yang sering disiksa sejak kecil cenderung akan mengulangi perbuatan menyimpang tersebut terhadap orang lain.
Kemajuan dalam teknologi informasi saat  ini memberi peluang individu untuk berinteraksi dengan seseorang yang mempunyai latar belakang yang berbeda, baik itu melalui internet, telepon seluler, televisi, media massa, dan sebagainya. 

Dari perjumpaan dengan orang-orang tersebut, individu mungkin saja memperoleh pembelajaran tentang suatu subbudaya yang menyimpang. Perilaku menyimpang yang terjadi, pada masyarakat kita akhir-akhir ini terjadi karena adanya proses pembelajaran secara sengaja atau tidak sengaja atas suatu perilaku menyimpang yang diakibatkan kemajuan teknologi informasi. 

Apabila dirinci, asosiasi diferensial memiliki sembilan preposisi, antara lain adalah sebagai berikut.
a.    Perilaku menyimpang merupakan hasil dari proses belajar atau yang dipelajari. Hal ini berarti bahwa penyimpangan bukan diwariskan atau diturunkan dan bukan hasil dari inteligensi yang rendah atau karena kerusakan otak.

b.    Perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens.

c.    Perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok personal yang intim dan akrab. Media massa, seperti TV, majalah, atau koran hanya memainkan peran sekunder dalam terjadinya penyimpangan.

d.    Hal-hal yang dipelajari di dalam proses terbentuknya perilaku menyimpang, adalah:

1)    Teknis-teknis penyimpangan, yang kadang-kadang sangat rumit, tetapi kadang-kadang juga cukup sederhana;
2)    Petunjuk-petunjuk khusus tentang motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap perilaku menyimpang.

e.    Petunjuk-petunjuk khusus tentang motif dan dorongan untuk melakukan perilaku yang menyimpang dipelajari dari definisi tentang norma yang baik atau buruk.

f.     Seseorang melakukan penyimpangan karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak. Apabila seseorang beranggapan bahwa lebih baik melakukan pelanggaran daripada tidak karena tidak ada sanksi atau hukuman yang tegas atau orang lain membiarkan suatu tindakan yang dapat dikategorikan menyimpang, dan bahkan apabila pelanggaran itu membawa keuntungan ekonomi, akan semakin mendorong orang melakukan perilaku yang menyimpang.

g.    Terbentuknya asosiasi diferensial itu bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.

h.    Proses mempelajari perilaku menyimpang melalui kelompok yang memiliki pola-pola menyimpang atau sebaliknya, melibatkan semua mekanisme yang berlaku di dalam setiap proses belajar.

i.      Meskipun perilaku menyimpang merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai masyarakat yang umum, tetapi perilaku menyimpang itu tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan dan nilai umum tersebut (Narwoko, 2004:hlm. 93-94).


2.     Teori Labeling




Teori-Teori Perilaku Menyimpang Beserta Penjelasannya Terlengkap
Teori Labeling


Menurut Edwin M. Lemert seseorang melakukan perilaku menyimpang karena proses labeling (pemberian cap, julukan, predikat, atau merek) yang diberikan masyarakat pada dirinya. Pada awalnya seseorang melakukan penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja yang dinamakan penyimpangan primer (Primary Deviation). Dalam penyimpangan primer ini si pelaku masih diterima secara sosial. Ciri lain dari penyimpangan primer adalah perilaku bersifat sementara, tidak berulang, dan masih dapat ditolerir masyarakat. Namun, seringkali pelaku penyimpangan primer itu mendapat julukan atau mengalami proses labeling dari masyarakat. Sebagai tanggapan terhadap pemberian cap oleh orang lain tersebut, pelaku penyimpangan kemudian mendefinisikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi perilaku menyimpangnya atau melakukan penyimpangan sekunder (secondary deviation) sehingga ia mulai menganut suatu gaya hidup menyimpang.

Menurut teori labeling, hal yang berperan penting dalam timbulnya perilaku menyimpang ini adalah pemberian label yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan. Pemberian label pada seseorang tersebut telah menimbulkan reaksi masyarakat dan efek psikologi bagi pelaku. Selanjutnya, pelaku mendefinisikan situasi (label) tadi sebagai sesuatu yang nyata, maka konsekuensinya pun nyata. Dalam praktik bermasyarakat kita sering menjumpai pemberian label untuk individu tertentu, seperti si A pelit, si B pemarah, dan si C tidak tegas.


3.     Teori Anomie
Kalau kedua teori yang telah disebutkan sebelumnya mengkaji penyimpangan perilaku dari jenjang mikro, yaitu dengan dasar analisa interaksi sosial yang dilakukan individu-individu tersebut maka Robert K. Merton mencoba menjelaskan penyimpangan sosial pada jenjang makro, yaitu pada jenjang struktur sosial. Struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku konformis, tetapi juga menghasilkan perilaku menyimpang; struktur sosial menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial dan menekan orang tertentu ke arah perilaku nonkonformis atau menyimpang (Kamanto Sunarto, 2000: hlm. 186).
     
Robert K. Merton mengemukakan bahwa dalam struktur sosial dan budaya dijumpai tujuan, sasaran, atau kepentingan yang didefinisikan oleh kebudayaan sebagai tujuan yang sah bagi masyarakat, yang merupakan hal yang “pantas diraih”. Di samping itu, melalui institusi dan aturan untuk meraih struktur sosial dan budaya terdapat kode etik tentang aturan main serta cara yang harus ditempuh untuk meraih tujuan budaya tersebut. Aturan itu merupakan petunjuk (guide) dan bersifat membatasi, artinya untuk mencapai tujuan tidak boleh menipu atau memaksa. Perilaku menyimpang merupakan pencerminan tidak adanya kaitan antara aspirasi yang ditetapkan kebudayaan dan cara yang dibenarkan struktur sosial untuk mencapai tujuan tersebut. Robert K. Merton (dalam Clinard dan Meier) seperti dikutip oleh Budirahman (2004:91) mengilustrasikan kondisi masyarakat sebagai berikut.
a.    Masyarakat industri modern seperti Amerika Serikat, lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang tinggi.

b.    Apabila tujuan status tercapai, mereka dianggap sebagai orang yang telah mencapai tujuan-tujuan status atau kultural (cultural goals) yang dicita-citakan oleh masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan-tujuan status tersebut harus melalui kelembagaan yang sah (institutionalized means), misalnya sekolah, pekerjaan formal, kedudukan politik, dan sebagainya.

c.    Namun ternyata, akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama lapisan masyarakat bawah (dalam hal ini orang-orang miskin atau orang-orang dari kelompok ras dan etnis tertentu yang sering mengalami diskriminasi.

d.    Akibat dari keterbatasan akses tersebut, maka muncul situasi anomie, yaitu suatu situasi di mana tidak ada titik temu antara tujuan status atau kultural serta cara yang sah dan tersedia untuk mencapai tujuan status tersebut.

e.    Anomie merupakan keadaan atau nama dari situasi yang kondisi sosial atau situasi masyarakatnya lebih menekankan kepada pentingnya tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan status tersebut jumlahnya lebih sedikit.

Secara umum, Robert K. Merton mengidentifikasikan lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu, antara lain yakni sebagai berikut.

a.    Konformitas (conformity) merupakan cara adaptasi yang paling banyak dilakukan. Di sini perilaku individu mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan. Hampir semua perilaku masyarakat yang tidak menyimpang (yang sesuai dengan keinginan atau norma masyarakat) masuk dalam kategori ini.

b.    Inovasi (innovation) merupakan cara adaptasi di mana perilaku individu mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia banyak kita temui perilaku yang masuk ke dalam kategori ini, seperti untuk mendapatkan gelar akademis seseorang ada yang menempuh jalan dengan membeli ijazah (ijazah palsu), untuk memperoleh kedudukan dalam pekerjaan lewat jasa dukun, menjadi pejabat dengan money politic dan lain sebagainya.

c.    Ritualisme (ritualism), yaitu perilaku seseorang yang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi masih tetap berpegang pada cara yang telah digariskan masyarakat. Misalnya, kita mau membangun sebuah gedung. Agar gedung tersebut kuat dan kokoh (awet), secara rasional kita bisa lakukan dengan membuat konstruksi bangunan yang kuat dan sesuai standar, memakai bahan yang kualitasnya dan tenaga ahli yang profesional, akan tetapi masyarakat seringkali melakukan dengan menanam kepala kerbau.

d.    Retreatism, merupakan bentuk adaptasi di mana perilaku tidak mengikuti tujuan budaya dan tidak mengikuti cara untuk meraih tujuan budaya. Pola adaptasi ini ditemui pada orang yang menderita gangguan jiwa, gelandangan, atau pemabuk.

e.    Pemberontakan (rebellion), dalam pola adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial lain. Tujuan budaya yang ada dianggap sebagai penghalang bagi tujuan yang didambakan dan cara yang tersedia untuk mencapai tujuan pun tidak diakui. Dalam sejarah masyarakat berulang kali kita dapati perilaku ini, seperti Revolusi Iran oleh Ayatullah Khomeini, Revolusi Bolshevik, dan lain sebagainya.

4.     Teori Kontrol

Ide utama di belakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Para ahli teori kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hukum. 

Dalam konteks ini, teori kontrol sosial paralel dengan teori konformitas.
Hirschi mengajukan beberapa proposisi teoretisnya, antara lain adalah sebagai berikut.
a.    Berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasikan individu (warga masyarakat) untuk bertindak konform terhadap aturan atau tata tertib yang ada.

b.    Penyimpangan dan kriminalitas merupakan bukti kegagalan kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap konform, seperti keluarga, sekolah, dan kelompok-kelompok dominan lainnya.

c.    Individu harus belajar konform dan tidak bertindak menyimpang atau kriminal.

d.    Kontrol internal lebih berpengaruh daripada eksternal (Narwoko, 2004:hlm. 96).

5.     Teori Konflik

Teori konflik lebih menitikberatkan analisanya pada asal-usul terciptanya suatu aturan atau tertib sosial. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok. Karena kekuasaan dimiliki oleh kelompok elite, kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka. 

Berkaitan dengan hal itu, perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan (Quinney, 1979 dalam Narwoko, 2004:hlm. 97).Dalam hal ini terdapat dua teori konflik besar yang menjelaskan teori penyimpangan perilaku, antara lain yakni sebagai berikut.

a.    Pemikiran Karl Marx

Teori konflik Karl Marx dapat dikelompokkan dalam perspektif klasik. Perspektif konflik klasik melihat terbentuknya masyarakat tidak didasarkan atas suatu konsensus terhadap nilai-nilai, tetapi karena suatu perjuangan di antara kelas-kelas sosial yang ada (borjuis dan proletar atau penguasa dan masyarakat umum).Negara dalam hal ini bukanlah pihak yang netral. 

Peran negara terutama adalah untuk melayani dan melindungi orang-orang yang membuat peraturan serta menghindarkan mereka dari ancaman orang atau kelompok lain. Karl Marx meramalkan bahwa kapitalisme sebagai tatanan masyarakat yang berkembang luas pasca Revolusi Industri akan mengembangkan hukum-hukum kriminal karena hukum tersebut dibutuhkan sebagai mekanisme untuk memelihara tatanan yang telah mapan atau dengan kata lain melindungi kepentingan kelompok elite.

b.    Teori Konflik Masa Kini

Para penulis teori konflik masa kini melihat perilaku kriminal sebagai refleksi dari kekuasaan yang memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kejahatan atau penyimpangan. Ada sebagian pemikir konflik kontemporer mendefinisikan kriminalitas sebagai suatu fungsi dari posisi kelas sosial karena kelompok elite memiliki kepentingan yang berbeda dengan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Apapun keuntungannya, kelompok elite akan bekerja melawan kepentingan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Posisinya yang strategis  membuat kelompok elite dapat mengontrol pembuatan aturan-aturan hukum.
            
Teori konflik kontemporer seringkali juga menganggap kejahatan sebagai suatu tindakan rasional (Taylor, Walton, dan Young dalam Narwoko, 2004:99).Orang-orang lapisan bawah telah didorong untuk melakukan tindakan kejahatan (merampok, mencuri, dan lain-lain) melalui kondisi sosial yang disebabkan oleh distribusi kekayaan yang tidak seimbang, di mana kelompok elite secara langsung melindungi serta memperbesar modal kapital mereka. Artinya, kejahatan terorganisir telah menjadi cara rasional untuk memenuhi kebutuhan ilegal dari masyarakat kapitalis.


Demikianlah Artikel lengkap yang berjudul Teori-Teori Perilaku Menyimpang Beserta Penjelasannya Terlengkap. Semoga dapat bermanfaat bagi Sobat Edukasi Lovers  semuanya. Jika artikel ini bermanfaat sudi kiranya bagi sobat semua untuk mengelike dan membagikan artikel ini untuk menjaga kelangsungan web pendidikan edukasinesia.com ini menjadi lebih baik. Jika ada permintaan, pertanyaan, kritik, maupun saran, silahkan berikan komentar sobat semua di kolom komentar di bawah ini.
Terima Kasih…
Salam Edukasi…