Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa Terlengkap


Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa Terlengkap
Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa Terlengkap



Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia dari Masa Revolusi Kemerdekaan, Republik Indonesia Serikat, Demokrasi Liberal, Orde Lama, Orde Baru, Hingga Reformasi

Materi dinamika persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari masa ke masa merupakan sangat penting untuk dipelajari sebagai generasi penerus bangsa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kebutuhan, sebagai upaya kita untuk menjaga dan mempertahankan negara Republik Indonesia secara utuh dan menyeluruh. Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia telah melalui berbagai kedinamisan. Tugas generasi penerus bangsa Indonesia adalah mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ini, walaupun banyak tantangan dan hambatan yang harus dilewati. Berikut ini merupakan pembahasan selengkapnya mengenai dinamika persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari masa ke masa, mulai dari masa Revolusi Kemerdekaan, masa Republik Indonesia Serikat, masa Demokrasi Liberal, masa Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin, masa Orde Baru, hingga masa Reformasi. 


Berikut ini merupakan pembahasan selengkapnya:

1. Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Revolusi Kemerdekaan (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)

Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Revolusi Kemerdekaan (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)
Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia pada Masa Revolusi Kemerdekaan


Pada periode  18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, bentuk Negara Republik Indonesia ialah kesatuan, dengan bentuk pemerintahannya ialah Republik. Dimana presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Sistem pemerintahan yang dipakai ialah sistem pemerintahan presidensial.


 Pada periode ini, yang dipakai sebagai pegangan ialah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hanya saja dalam pelaksanaannya belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Pada waktu itu, semua kekuatan negara difokuskan pada upaya mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih dari rongrongan kekuatan asing yang ingin kembali menjajah negara Indonesia. Oleh sebab itu, walaupun Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah berlaku, namun yang baru dapat dibentuk hanya Presiden, Wakil Presiden, serta para menteri dan gubernur yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. 


Adapun departemen yang dibentuk pertama kalinya di negara Indonesia terdiri atas 12 departemen. Provinsi yang baru dibentuk terdiri atas delapan wilayah yang terdiri atas Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Kondisi tersebut didasarkan pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. 


Dengan demikian, tidaklah menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan karena pemilihan umum belum diselenggarakan. Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam UUD 1945 seperti MPR, DPR, DPA, BPK dan MA belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat dan harus dibentuk berdasarkan undang-undang. Untuk mengatasi hal tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 melalui ketentuan dalam pasal IV Aturan Peralihan menyatakan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut undang-undang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. 


Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 secara langsung memberikan kekuasaan yang teramat luas kepada Presiden. Dengan kata lain, kekuasaan presiden meliputi kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif0, menjalankan kekuasaan MPR dan DPR (legislatif) serta menjalankan tugas DPA. Kekuasaan yang teramat besar itu diberikan kepada presiden hanya untuk sementara waktu, supaya penyelenggaraan negara dapat berjalan. Oleh karena itu PPKI dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan dua ayat Aturan Tambahan yang menegaskan bahwa:

1) Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan  dalam Undang-Undang Dasar ini.

2) Dalam enam bulan setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar.


Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan dalih oleh Belanda untuk menuduh Indonesia sebagai negara diktator karena kekuasaan negara terpusat kepada presiden. Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia internasional, maka pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan tiga buah maklumat.

1) Maklumat Wakil Presiden Nomor X (baca teks) tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar biasa dari Presiden sebelum masa waktunya berakhir (seharusnya berlaku selama enam bulan). Kemudian, maklumat tersebut memberikan kekuasaan MPR dan DPR yang semula dipegang oleh Presiden kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada dasarnya, maklumat ini ialah penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945.

2) Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, tentang pembentukan partai politik yang sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini sebagai akibat dari anggapan pada saat itu bahwa salah satu ciri demokrasi ialah multipartai. Maklumat tersebut juga sebagai upaya agar Dunia Barat menilai bahwa Indonesia ialah negara yang menganut asas demokrasi.

3) Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, yang intinya mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Maklumat tersebut kembali menyalahi ketentuan UUD RI 1945 yang menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintah Indonesia.


Ketiga maklumat tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 telah membawa perubahan total dalam sistem pemerintahan negara kita. Pada tanggal tersebut, Indonesia memulai kehidupan baru sebagai penganut sistem pemerintahan parlementer. Dengan sistem ini, presiden tidak lagi memiliki rangkap jabatan, presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. 


Kabinet dalam hal ini para menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi kepada DPR yang kekuasaannya dipegang oleh BP KNIP. Secara konseptual, perubahan ini diharapkan akan mampu mengakomodasi semua kekuatan yang ada dalam negara ini. Akan tetapi, pada kenyataannya, sistem ini justru membawa bangsa Indonesia ke dalam keadaan yang tidak stabil. Kabinet-kabinet parlementer yang dibentuk gampang sekali dijatuhkan dengan mosi tidak percaya dari DPR. 


Sistem pemerintahan parlementer tidak berlangsung lama. Sistem tersebut berlaku mulai tanggal 14 November 1945 dan berakhir pada tanggal 27 Desember 1949. Dalam rentang waktu itu terjadi beberapa kali pergantian kabinet. Kabinet yang pertama dipimpin oleh Sutan Syahrir yang dilanjutkan dengan kabinet Syahrir II dan Syahrir III. Sewaktu bubarnya kabinet Syahrir III ini, sebagai akibat dari meruncingnya pertikaian antara Indonesia-Belanda, pemerintah membentuk Kabinet Presidensial kembali yakni pada 27 Juni 1947 - 3 Juli 1947. 


Namun atas desakan dari beberapa partai politik, Presiden Soekarno kembali membentuk Kabinet Parlementer, yakni sebagai berikut:

1) Kabinet Amir Syarifudin I : 3 Juli 1947 – 11 November 1947

2) Kabinet Amir Syarifudin II : 11 November 1947 – 29 Januari 1948

3) Kabinet Hatta I : 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949

4) Kabinet Darurat (Mr. Sjafruddin Prawiranegara) : 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949

5) Kabinet Hatta II : 4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949


Kondisi pemerintahan tidak stabil karena kabinet yang dibentuk tidak bertahan lama serta rongrongan kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Pemberontakan tersebut menambah catatan kelam sejarah bangsa ini dan rakyat makin menderita. Periode Negara Kesatuan Republik Indonesia berakhir seiring dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar yang mengubah bentuk negara kita menjadi negara serikat pada tanggal 27 Desember 1949. 


Periode ini juga ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan separatis dengan tujuan mendirikan negara baru yang memisahkan diri dari NKRI. Adapun gerakan-gerakan tersebut di antaranya sebagai berikut.

1) Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun 1948

Pemberontakan ini terjadi pada tanggal 18 September 1948 yang dipimpin oleh Muso. Tujuan dari pemberontakan PKI Madiun ialah ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan komunis serta ingin mendirikan Soviet Republik Indonesia. Pemberontakan PKI Madiun melakukan aksinya dengan menguasai seluruh karasidenan Pati. PKI juga melakukan pembunuhan dan penculikan ini secara besar-besaran. Pada tanggal 30 September 1948, pemberontakan PKI Madiun berhasil ditumpas oleh TNI yang dibantu oleh rakyat. Di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto (Panglima Divisi H Jawa Tengah bagian timur) dan Kolonel Sungkono (Panglima Divisi Jawa Timur) mengerahkan kekuatan TNI dan polisi untuk melakukan pengejaran dan pembersihan di daerah-daerah sehingga Muso dan Amir Syarifuddin berhasil ditembak mati.


2) Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam di daerah Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosuwiryo yang mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Cita-citanya membentuk Negara Islam Indonesia diwujudkan melalui Proklamasi yang dikumandangkan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat. Untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosuwiryo, pasukan TNI dan rakyat menggunakan Operasi Pagar Betis di Gunung Geber. Akhirnya, pada tanggal 4 Juni 1962 Kartosuwiryo berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.


2. Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Republik Indonesia Serikat


Federalisme pernah diterapkan di Indonesia pada rentang 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950. Pada masa ini, yang dijadikan sebagai pegangan ialah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949. Berdasarkan Konstitusi tersebut, bentuk negara kita ialah serikat atau federasi dengan 15 negara bagian. Bentuk pemerintahan yang berlaku pada periode ini ialah republik. 


Ciri republik diterapkan ketika berlangsungnya pemilihan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Drs. Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri. Sistem pemerintahan yang dianut pada periode ini yaitu sistem parlementer kabinet semu dengan karakteristik sebagai berikut ini:

1) Pengangkatan Perdana Menteri dilakukan oleh Presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya.

2) Kekuasaan perdana menteri masih dicampurtangani oleh Presiden. Hal itu tampak pada ketentuan bahwa Presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah. Seharusnya,  Presiden hanya sebagai kepala negara saja. Sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri.

3) Pembentukan kabinet dilakukan oleh Presiden bukan oleh parlemen.

4) Pertanggungjawaban kabinet adalah kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) namun harus melalui keputusan pemerintah.

5) Parlemen tidak memiliki hubungan erat dengan pemerintah sehingga DPR tidak punya pengaruh besar terhadap pemerintah. DPR tidak dapat menggunakan mosi tidak percaya kepada kabinet.

6) Presiden RIS memiliki kedudukan rangkap yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.


Selain Presiden dan para menteri (kabinet), negara Republik Indonesia Serikat juga memiliki Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan sebagai alat perlengapan negara. Parlemen Republik Indonesia Serikat terdiri atas dua badan yakni Senat dan DPR. Senat beranggotakan wakil dari negara bagian yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Setiap negara bagian diwakili oleh dua orang. Keputusan untuk memilih bentuk negara serikat merupakan politik pecah belah dari kaum penjajah. 


Hasil kesepakatan dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) memang mengharuskan Indonesia berubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat. Akibat terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS) ini memicu timbulnya reaksi dari berbagai kalangan bangsa Indonesia yang menuntut pembubaran negara Republik Indonesia Serikat untuk kembali kepada kesatuan Negara Republik Indonesia. Maka pada tanggal 8 Maret 1950. Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950 dimana isinya mengatur tata cara perubahan susunan kenegaraan negara Republik Indonesia Serikat. 


Dengan adanya undang-undang tersebut, hampir semua negara bagian RIS menggabungkan diri dengan Negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, negara Republik Indonesia Serikat hanya memiliki tiga negara bagian yakni NRI, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur. Pengaruh kondisi tersebut mendorong RIS berunding dengan pemerintahan Republik Indonesia (RI) untuk membentuk negara kesatuan. Maka pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai suatu kesepakatan yang dituangkan dalam piagam perjanjian. Disebutkan pula dalam perjanjian tersebut bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan dua konstitusi yang berlaku, yaitu konstitusi RIS dan juga Undang-Undang Dasar 1945 yang menghasilkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). 


Pemerintah Indonesia bersatu ini dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagaimana diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi RIS diganti dengan UUDS 1950. Maka sejak saat itulah pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.  


Pada masa Republik Indonesia Serikat juga terdapat beberapa gerakan separatis yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, antara lain:

1) Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. Gerakan ini didasari oleh adanya kepercayaan rakyat akan datangnya seorang ratu adil yang akan membawa mereka ke suasana aman dan tenteram serta memerintah dengan adil dan bijaksana. Tujuan gerakan Angkatan Perang Ratu Adil ialah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan mempunyai tentara tersendiri pada negara bagian Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 23 Januari tahun 1950 pasukan Angkatan Perang Ratu Adil menyerang Kota Bandung serta melakukan pembantaian dan pembunuhan terhadap anggota TNI. Angkatan Perang Ratu Adil tidak mau bergabung dengan Indonesia dan memilih tetap mempertahankan status quo karena jika bergabung dengan Indonesia, mereka akan kehilangan hak istimewanya. Pemberontakan Angkatan Perang Ratul Adil juga didukung oleh Sultan Hamid II yang menjabat sebagai menteri negara pada kabinet Republik Indonesia Serikat. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil ini berhasil diberantas melalui operasi militer yang dilakukan oleh Pasukan Siliwangi.


2) Pemberontakan Andi Azis di Makassar

Pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal. Mereka mendesak NIT (Negara Indonesia Timur) segera menggabungkan diri dengan Republik Indonesia (RI). Sementara itu, terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya negara federal. 

Kondisi ini menyebabkan munculnya kekacauan dan ketegangan di masyarakat. Untuk mengatasi pemberontakan Andi Azis ini, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah mengeluarkan perintah bahwa dalam kurun waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pasukan yang terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang. 

Pada tanggal 15 April 1950, Andi Azis berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden Negara Indonesia Timur, Sukawati. Tetapi Andi Azis terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V. Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950, pasukan ini berhasil menduduki Massar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.


3) Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Gerakan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil yang menolak terhadap pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memproklamasikan negara Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April 1950. Mereka ingin merdeka dan melepaskan diri dan wilayah Republik Indonesia karena menganggap Maluku memiliki kekuatan secara ekonomi, politik, dan geografis untuk berdiri sendiri. 

Penyebab utama munculnya gerakan Republik Maluku Selatan ialah masalah pemerataan jatah pembangunan daerah yang dirasakan sangat kecil, tidak sebanding dengan daerah di Jawa.  

Pemberontakan ini dapat diatasi melalui ekspedisi militer yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur). Melalui ekspedisi militer, beberapa wilayah penting dapat  dikuasai seperti Maluku, Ambon dan sekitarnya, sehingga beberapa anggotanya banyak yang melarikan diri ke negeri Belanda. 


3. Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Demokrasi Liberal (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Demokrasi Liberal (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Demokrasi Liberal


Pada periode ini Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 (UUDS 1950) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 merupakan perubahan dari Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang diselenggarakan sesuai dengan Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950. Bentuk negara Indonesia pada periode ini ialah kesatuan yang kekuasaannya dipegang oleh pemerintah pusat. Hubungan dengan daerah didasarkan  pada asas desentralisasi. 


Bentuk pemerintahan yang diterapkan  ialah republik dengan kepala negara ialah seorang presiden yang dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali mengisi dua jabatan tersebut. Sistem pemerintahan yang dianut pada periode ini ialah sistem pemerintahan parlementer dengan menggunakan kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Alat-alat perlengkapan negara meliputi Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan. 


Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Sementara Republik Indonesia tahun 1950 dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang merupakan gabungan anggota DPR RIS ditambah ketua dan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan anggota yang ditunjuk oleh presiden. Praktik sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 ini ternyata tidak membawa bangsa Indonesia ke arah kemakmuran, keteraturan dan kestabilan politik. Hal ini tercermin dari jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu antara 1950 sampai dengan 1959 telah terjadi 7 kali pergantian kabinet, yakni:

1) Kabinet Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951)

2) Kabinet Sukirman (27 April 1951 – 3 April 1952)

3) Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953

4) Kabinet Ali Sastroadmidjojo I (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

5) Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956). Pada masa kabinet ini, Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh 28 partai. Pemilu dilaksanakan atas dasar Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 1953. Pemilu tahun 1955 dilaksanakan selama dua tahap yakni pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen dan tanggal 15 Desember untuk memilih anggota konstituante.

6) Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 9 April 1957)

7) Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)


Hal yang menyebabkan kondisi negara kacau pada periode ini ialah tidak berhasilnya badan konstituante menyusun undang-undang dasar yang baru. Keadaan ini memancing persaingan politik dan menyebabkan kondisi ketatanegaraan bangsa Indonesia menjadi tidak menentu. Kondisi yang sangat membahayakan bangsa dan negara ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengajukan rancangannya mengenai konsep demokrasi terpimpin dalam rangka kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. 


Terjadi perdebatan yang tiada ujungnya, sementara di sisi lain kondisi negara makin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi tersebut mendorong Presiden untuk menggunakan wewenangnya yaitu mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli tahun 1959 yang isinya antara lain yakni:

1) Pembubaran Konstituante

2) Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Sementara tahun 1950.

3) Pembentukan MPR dan DPA sementara.


Pada periode ini juga terjadi beberapa gerakan separatis di daerah, antara lain yakni:

1) Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)

a) Daerah Sulawesi Selatan

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pemberontakan ini disebabkan oleh Kahar Muzakar yang menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Pada tanggal 17 Agustus tahun 1951, Kahar Muzakar bersama dengan pasukannya melarikan diri ke hutan dan tahun 1952, ia mengumumkan bahwa Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. 

Penumpasan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Kahar Muzakar mengalami kesulitan karena tempat persembunyian mereka berada di hutan yang ada di daerah pegunungan. Namun, pada bulan Februari 1965 pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kahar Muzakar ditembak mati.


b) Daerah Aceh

Pembrontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh yang merupakan mantan Gubernur Aceh. Pemberontaan ini disebabkan oleh status Aceh yang semula menjadi daerah istimewa diturunkan menjadi daerah karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara. 

Kebijakan pemerintah tersebut ditentang oleh Daud Beureuh sehingga pada tanggal 21 September 1953, ia mengeluarkan maklumat tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Pemerintah RI menumpas pemberontakan ini dengan kekuatan senjata (operasi militer) dan melakukan musyawarah dengan rakyat Aceh sehingga pada tanggal 17 Desember 1962 – 28 Desember 1962 diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dan melalui musyawarah tersebut berhasil dicapai penyelesaian secara damai.

c) Daerah Kalimantan Selatan 

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Kalimantan Selatan ini dipimpin oleh Ibnu Hajar yang menamakan gerakannya dengan sebutan Kesatuan Rakyat yang Tertindas. Pada tahun 1954, Ibnu Hajar secara resmi bergabung dengan Negara Islam Indonesia dan ditunjuk sebagai panglima tertinggi Tentara Islam Indonesia. Pada tahun 1963, pemerintah Indonesia berhasil menumpas pemberontakan ini, Ibnu Hajar dan anak buahnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.


2) Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)

Gerakan pemberontakan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang terjadi di Sulawesi disebabkan oleh adanya hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal itu disebabkan oleh jatah keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak sesuai anggaran yang diusulkan. Hal tersebut menimbulkan dampak ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Selanjutnya, dibentuk gerakan dewan berikut ini:

a) Dewan Manguhi di Sulawesi Utara

b) Dewan Garuda di Sumatra Selatan

c) Dewan Gajah di Sumatra Utara

d) Dewan Banteng di Sumatra Tengah

e) Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan.


Puncak pemberontakan PRRI/Permesta ini terjadi pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat. Isi ultimatum ini yaitu menyatakan bahwa kabinet Djuanda harus mengundurkan diri dalam kurun waktu 5 x 24 jam. Setelah menerima ultimatum, pemerintah pusat bertindak tegas dengan cara memberhentikan secara tidak hormat Achmad Husein dan melakukan operasi militer pada tanggal 12 Februari 1958. Di bawah pimpinan KSAD, A.H. Nasution membekukan komando daerah militer Sumatra Tengah serta mengadakan operasi militer gabungan yang diberi nama Operasi 17 Agustus yang berhasil mengancurkan gerakan separatis tersebut. 

Namun, pada tanggal 15 Februari 1955 terjadi proklamasi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berisi bahwa daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat. Untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, pemerintah pusat melancarkan operasi Sapta Marga dan berhasil melumpuhkan aksi dilakukan PRRI/Permesta.


4. Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Pada Masa Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966)

Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa Pada Masa Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966)
Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Orde Lama


Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959 telah membawa kepastian di negara Indonesia. Negara kita kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang berkedudukan sebagai asas penyelenggaraan negara. Sejak berlakunya kembali UUD 1945, Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kabinet yang dibentuk pada tanggal 9 Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja yang terdiri atas:

a) Kabinet Inti, yang terdiri atas seorang perdana menteri yang dijabat oleh Presiden dan 10 orang menteri.

b) Menteri-menteri ex officio, yakni pejabat-pejabat negara yang karena jabatannya diangkat menjadi menteri. Pejabat tersebut ialah Kepala Staf Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian Negara, Jaksa Agung, Ketua Dewan Perancang Nasional dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.

c) Menteri-menteri muda sebanyak 60 orang.


Pada periode ini muncul pemikiran di kalangan para pemimpin bangsa Indonesia yang dipelopori Presiden Soekarno yang memandang bahwa pelaksanaan demokrasi liberal pada periode yang lalu hasilnya sangat mengecewakan. Sebagai akibat dari kekecewaan tersebut, presiden Soekarno mencetuskan konsep demokrasi terpimpin. Pada mulanya, ide demokrasi terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 

Namun, lama kelamaan bergeser menjadi  dipimpin oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Maka, akhirnya segala sesuatunya didasarkan kepada kepemimpinan penguasa dalam hal ini pemerintah. Pelaksanaan pemerintahan pada periode ini meskipun berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi kenyataannya banyak terjadi penyimpangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun beberapa penyimpangan selama pelaksanaan demokrasi terpimpin yakni sebagai berikut:

1) Membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu dan menggantikannya dengan membentuk DPR Gotong Royong (DPRGR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

2) Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

3) Penetapan Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS.

4) Membentuk Front Nasional melalui Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959 yang anggotanya berasal dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan organisasi sosial politik yang ada di Indonesia.

5) Terjadinya pemerasan dalam penghayatan Pancasila. Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa diperas menjadi tiga unsur yang disebut Trisila, kemudian Trisila ini diperas lagi menjadi satu unsur yang disebut Ekasila. Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunisme).


Gagasan Nasakom inilah yang memberi peluang bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal tersebut dimasukkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah. Semua unsur Nasakom termasuk di dalamnya PKI harus diperhatikan dalam penunjukan unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jadi, bila di suatu daerah hanya ada seorang tokoh PKI, ia harus diikutsertakan sebagai pimpinan DPRD apabila ia menjadi anggota DPRD di satu daerah. Hal inilah yang membuat PKI mendapatkan posisi yang strategis bahkan dominan. Karena merasa memiliki posisi yang kuat, PKI melakukan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 yang menewaskan tujuh orang perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.



5. Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Orde Baru (11 Maret 1966 – 21 Mei 1998)

Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Orde Baru (11 Maret 1966 – 21 Mei 1998)
Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Orde Baru


Kepemimpinan Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya akhirnya jatuh pada tahun 1966. Jatuhnya pemerintahan Soekarno ini menandai berakhirnya masa Orde Lama dan digantikan oleh Orde Baru kepemimpinan Presiden Soeharto. Presiden Soeharto muncul sebagai pemimpin Orde Baru yang siap untuk membangun kembali pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Prioritas utama pemerintahan orde baru yakni bertumpu pada pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional. 


Eksekusi dari kebijakan tersebut ialah digunakannya pendekatan keamanan dalam rangka mengamankan pembangunan nasional. Oleh sebab itu, jika terdapat pihak-pihak yang dinilai mengganggu stabilitas nasional, aparat keamanan akan menindaknya dengan tegas. Karena apabila stabilitas keamanan nasional terganggu, maka pembangunan ekonomi akan terganggu pula. Apabila pembangunan ekonomi terganggu, maka berimplikasi pembangunan nasional tidak akan berhasil. Selama memegang kekuasaan negara, pemerintahan orde baru tetap menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Terdapat beberapa kelebihan dari sistem pemerintahan orde baru yakni:

1) Perkembangan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang pada tahun 1968 hanya 70 dollar Amerika Serikat dan pada tahun 1996 telah mencapai lebih dari 1.000 dollar Amerika Serikat.

2) Suksesnya program transmigrasi

3) Suksesnya program keluarga berencana

4) Sukses memerangi buta huruf.



Akan tetapi seiring perjalanan pemerintahannya, orde baru melakukan beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun beberapa penyimpangan konstitusional yang paling menonjol pada masa pemerintahan Orde Baru sekaligus menjadi kelemahan sistem pemerintahan Orde Baru yakni sebagai berikut:

1) Bidang Politik

Kekuasaan berada di tangan lembaga eksekutif. Presiden sebagai pelaksana undang-undang kedudukannya lebih dominan dibandingkan dengan lembaga legislatif. Pemerintahan bersifat sentralistik, sehingga berbagai keputusan disosialisasikan dengan sistem komando dan tidak ada kebebasan untuk mengkritik jalannya pemerintahan. Praktik-praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme biasa terjadi yang tentunya sangat merugikan perekonomian negara dan memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

2) Bidang Hukum

Perundang-undangan yang memiliki fungsi untuk membatasi kekuasaan presiden kurang memadai, sehingga kesempatan ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dalam pemerintahan. Supremasi hukum tidak dapat ditegakkan karena banyaknya oknum penegak hukum yang cenderung memihak pada orang tertentu sesuai kepentingan. Hukum bersifat kebal terhadap penguasa dan konglomerat yang dekat dengan penguasa.

3) Bidang Ekonomi

Penyelenggaraan ekonomi tidak didasarkan pada pasal 33 UUD 1945. Terjadinya praktik monopoli ekonomi. Pembangunan ekonomi bersifat sentralistik, sehingga terjadi jurang pemisah antara pusat dan daerah. Pembangunan ekonomi dilandasi oleh tekad untuk kepentingan individu.


Segala penyimpangan tersebut telah membuat Indonesia masuk pada suatu kondisi krisis multidimensional. Kondisi yang sangat mencemaskan ini telah membangkitkan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim otoriter. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dan sebagai gantinya B.J. Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Masa jabatan Presiden B.J. Habibie berakhir setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh sidang umum MPR pada tanggal 20 Oktober 1999.


6. Dinamika Persatuan dan Kesatuan pada Masa Reformasi (Periode 21 Mei 1998-sekarang)

Dinamika Persatuan dan Kesatuan pada Masa Reformasi (Periode 21 Mei 1998-sekarang)
Dinamika Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Reformasi


Periode ini disebut dengan era reformasi. Gejolak politik di era reformasi semakin mendorong usaha penegakan kedaulatan rakyat dan bertekad untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme yang menghancurkan kehidupan bangsa dan negara. Memasuki masa reformasi, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu perlu disusun pemerintahan yang konstitusional (pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi). Pemerintahan yang konstitusional ini bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi:

1) Adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan (eksekutif)

2) Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.


Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu bentuk reformasi yang dilakukan oleh negara Indonesia ialah melakukan perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dengan melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya pada masa orde baru. Kegiatan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ini telah dilakukan oleh MPR sebanyak 4 kali yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada hakikatnya tidak mengubah sistem pemerintahan Indonesia yakni sistem pemerintahan presidensial. Tetapi perubahan amandemen UUD 1945 tersebut telah mengubah peran dan hubungan presiden dan DPR. 


Jika dulu Presiden mempunyai peran yang sangat dominan bahkan dalam praktiknya dapat menekan lembaga-lembaga negara yang lain, kini di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoesia 1945 memberi peran yang proporsional terhadap lembaga-lembaga negara yang ada. Begitu juga dengan kontrol terhadap kekuasaan Presiden menjadi lebih ketat. Perubahan UUD NRI 1945 juga mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia, dimana ada penghapusan dan penambahan lembaga-lembaga negara. Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang mendasar pada ketatanegaraan Indonesia setelah dilakukannya amandemen UUD NRI 1945.

1) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2)

2) MPR merupakan lembaga bikameral yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD (Pasal 2 ayat 1)

3) Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat 1)

4) Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7)

5) Pencantuman hak asasi manusia (Pasal 28A-28J)

6) Penghapusan DPA sebagai lembaga tinggi negara

7) Presiden bukan mandataris MPR.

8) MPR tidak lagi menyusun GBHN

9) Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial (Pasal 24B dan 24C)

10) Anggaran pendidikan minimal 20% (Pasal 31 ayat 4)

11) Negara kesatuan tidak boleh diubah (Pasal 37 ayat 5)

12) Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dihapus.