Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap


Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap
Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap

Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap

Selamat Datang di Web Pendidikan edukasinesia.com

Hallo sobat Edukasi Lovers, senang sekali rasanya pada kesempatan kali ini saya dapat membagikan artikel untuk menambah pengetahuan dan wawasan sobat Edukasi Lovers semua. Artikel yang akan saya bagikan pada kesempatan kali ini berjudul Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap

Berikut Pembahasannya

1.Masa Pemerintahan B.J. Habibie




Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap
Masa Pemerintahan B.J. Habibie


a.    Kebijakan Politik, Hukum, dan Ekonomi

Sejak dilantik sebagai Presiden RI ketiga pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie segera melakukan berbagai kebijakan untuk melaksanakan amanat reformasi. Selanjutnya, Presiden Habibie melakukan penyusunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet baru tersebut mencerminkan berbagai unsur kekuatan sosial politik dalam masyarakat, seperti unsur ABRI, Golkar, PPP, PDI, unsur daerah, kaum intelektual, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Tugas kabinet Reformasi Pembangunan adalah melaksanakan amanat reformasi di bidang ekonomi, politik, dan hukum. 

Selain itu, kabinet Reformasi Pembangunan juga diharapkan mampu mengambil langkah-langkah proaktif, untuk mengembalikan jalannya pemerintahan dan pembangunan yang terkena dampak krisis ekonomi. Oleh karena itu, target kabinet Reformasi Pembangunan adalah peningkatan kualitas, produktivitas, dan daya saing ekonomi rakyat dengan memberikan peranan yang lebih luas lagi tumbuhnya perusahaan-perusahaan kecil, menengah, dan koperasi yang telah terbukti tangguh menghadapi krisis ekonomi. Tugas pokok kabinet Reformasi Pembangunan adalah menyiapkan proses reformasi di beberapa bidang, antara lain sebagai berikut.

1)    Bidang Politik

Program kerja kabinet Reformasi Pembangunan di bidang politik adalah merevisi berbagai perundang-undangan warisan Orde Baru (ORBA) dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik dan melaksanakan pemilu yang diamanatkan dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN)

2)    Bidang Hukum

Program kerja kabinet Reformasi Pembangunan bidang hukum adalah meninjau kembali Undang-Undang Subversi.

3)    Bidang Ekonomi

a)    Mempercepat penyelesaian penyusunan undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat
b)    Merevisi rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN).
c)    Revitalisasi lembaga perbankan dan keuangan nasional.
d)    Melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dengan kreditur pihak luar negeri, seperti melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai dengan kesepakatan dengan IMF.
e)    Menjunjung tinggi kerja sama-kerja sama  regional dan internasional yang telah dilaksanakan Indonesia.

Namun, kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden B.J. Habibie ini tidak berumur panjang. Sidang Umum MPR pada tanggal 19 Oktober 1999 menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie yang disampaikan pada tanggal 16 Oktober 1999.Faktor penting yang menyebabkan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie adalah patut diduga bahwa Presiden menguraikan indikator pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat dan manipulatif. Meskipun singkat, selama pemerintahan Habibie juga tercatat berbagai prestasi yang telah dicapai, seperti penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, penyelenggaraan Pemilihan Umum 1999 yang demokratis, dan reformasi di bidang politik, sosial, budaya, hukum, dan ekonomi. 

Di bidang sosial budaya, pemerintahan Habibie telah mengeluarkan kebijakan kebebasan kepada pers sehingga semasa pemerintahan Habibie banyak sekali bermunculan media massa. Salah satu ciri kebijakan politik kabinet Reformasi Pembangunan adalah diberikannya amnesti dan abolisi kepada tahanan politik dan narapidana politik masa Orde Baru, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mochtar Pakpahan. Pada masa kabinet Reformasi Pembangunan kebebasan berpolitik masyarakat dibuka selebar-lebarnya sehingga menjelang pemilihan umum telah lahir  141 partai politik baru. Selain itu, adanya kekhawatiran masyarakat dan para analis politik akan terjadinya kerusuhan dalam pemilu 1999 tidak terbukti. Namun, di samping berbagai prestasi yang telah dicapai tersebut, pemerintahan B.J. Habibie juga masih menyisakan beberapa masalah. Misalnya, penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mantan Presiden Suharto dan kroni-kroninya, lambatnya pemulihan ekonomi, banyaknya kasus-kasus korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Aceh, Papua, Ambon, Sambas, Kupang, Banyuwangi, dan kasus Semanggi 1.


b.    Lepasnya Timor Timur dari Indonesia

Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari pangkuan bumi pertiwi (Indonesia).Untuk menyelesaikan masalah Timor-Timur, pemerintahan B.J. Habibie telah memberikan dua opsi, yakni otonomi khusus atau merdeka. Pada tanggal 27 Januari 1999, pemerintah mengumumkan kebijakan baru mengenai penyelesaian masalah Timor Timur berupa kemungkinan pemisahan diri Timor Timur secara adil, damai, bermartabat, dan konstitusional. 

Di tingkat internasional, pada tanggal 5 Mei 1999 dilangsungkan penandatanganan kesepakatan penentuan pendapat di Timor Timur antara Menlu RI Ali Alatas, Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan di New York. Selanjutnya, guna menindaklanjuti isi persetujuan New York, pemerintah membentuk Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur (Satgas P3TT) yang memulai tugasnya pada tanggal 1 Juni 1999 dipimpin Duta Besar Agus Tarmidzi. Pada tanggal 3 Juni 1999, UNAMET (United Nations Assistance Mission in East Timor), yakni sebuah badan PBB untuk Timor Timur dipimpin oleh Ian Martin secara resmi didirikan di Dili untuk mengawasi dan menyelenggarakan penentuan pendapat. Dengan difasilitasi PBB, pelaksanaan penentuan pendapat di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999 dapat berlangsung secara aman dan damai.

Namun, dalam jajak pendapat mengenai status Timor Timur tersebut diperoleh hasil mayoritas rakyat Timor Timur menginginkan lepas atau merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Berdasarkan hasil penentuan pendapat yang diumumkan pada tanggal 4 September 1999, 78,5 persen rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka dan lepas dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Hasil jajak pendapat tersebut memang mengejutkan banyak pihak di Indonesia, yang sebelumnya memperkirakan hasilnya akan dimenangkan oleh kelompok prointegrasi. 

Selanjutnya, pada tanggal 31 Agustus 1999 pecah kerusuhan di Timor Timur. Kerusuhan tersebut pecah dipicu oleh ketidakpuasan kelompok prointegrasi atas kekalahannya dalam jajak pendapat. Dalam kerusuhan tersebut terjadi perusakan, pembakaran, penembakan, dan pembunuhan di seluruh Timor Timur. Selanjutnya, pemerintah segera menerapkan sistem darurat militer di Tim-Tim pada tanggal 9 September 1999.Pada tanggal 12 September 1999, Presiden B.J. Habibie menyetujui masuknya Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB Interfet (International Force for East Timor) guna bersama-sama dengan TNI melakukan kerja sama keamanan di Timor Timur. 

Berdasarkan hasil penentuan pendapat rakyat Timor Timur, dalam Sidang Umum MPR tahun 1999, telah disetujui untuk mencabut Tap MPR No. VI/MPR/1978 tentang integrasi Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Tap. MPR No. V/MPR/1999.Pada tanggal 25 Oktober 1999, pemerintah secara resmi menyerahkan Timor Timur kepada PBB dan sejak tanggal 30 Oktober 1999 Timor Timur secara resmi telah  terpisah dari Indonesia.

c.    Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 1999

Pada tanggal 7 Juni 1999 dilaksanakan Pemilihan umum yang diikuti oleh 48 partai. Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 menghasilkan lima pemenang, yaitu PDIP, Golkar, PPP, PAN, dan PKB. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum 1999, disusunlah keanggotaan MPR yang berjumlah 700 orang dengan komposisi 500 orang anggota DPR dan 200 orang utusan daerah dan utusan golongan. Penyusunan anggota MPR tersebut menghasilkan 11 fraksi dan memilih Amien Rais sebagai Ketua MPR serta Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR. Selanjutnya, diselenggarakan SU MPR pada tanggal 4-19 Oktober 1999.Dalam pemungutan suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden terpilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI. Pelantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden  RI keempat dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 1999.Sidang Umum MPR juga berhasil membuat sembilan ketetapan dan melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

2.Masa Pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)



Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap
Masa Pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid



a.    Terbentuknya Kabinet Persatuan Nasional I

Kabinet Persatuan Nasional I yang dilantik pada tanggal 29 Oktober 1999 oleh Wakil Presiden Megawati terdiri atas 35 orang menteri ataupun setingkat menteri. Namun, meskipun pembentukan kabinet tersebut merupakan hasil kompromi dari sejumlah elite politik, pada tanggal 23 Agustus 2000, presiden mengumumkan susunan kabinet baru hasil reshuffle sehingga kabinet Persatuan Nasional I dinyatakan demisioner. Kabinet Persatuan Nasional I hanya bertahan selama 10 bulan karena selama pemerintahan Presiden Gus Dur, energi anggota kabinet banyak terkuras karena mundurnya beberapa menteri dan adanya menteri-menteri yang diberhentikan. Di samping itu, muncul ketegangan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya beberapa komentar negatif Presiden Gus Dur terhadap kinerja DPR.

b.    Konflik Presiden-DPR

Dihapuskannya Departemen Penerangan dan Departemen Sosial menimbulkan reaksi keras dari DPR atas pembubaran kedua departemen tersebut. Selanjutnya, DPR menggunakan hak interpelasinya guna meminta keterangan kepada Presiden. DPR menilai presiden mengambil kebijakan tersebut tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Presiden Gus Dur dalam sidang pleno DPR menyatakan tidak akan mencabut kembali kebijaksanaannya itu dan menyebut DPR seperti “taman kanak-kanak”. Oleh sebagian anggota DPR, pernyataan Presiden tersebut dianggap telah melecehkan lembaga DPR. Peristiwa ini merupakan awal perseteruan di antara Presiden Gus Dur dengan DPR. 

Dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 7 hingga 12 Agustus 2000, Presiden Gus Dur diwakili Menteri Sekretaris Kabinet menyampaikan laporan tahunan. Namun, progress report Presiden Gus Dur ditanggapi dengan rasa tidak puas sebagian besar fraksi MPR terhadap kinerja Presiden. Dalam pidato jawabannya atas pemandangan umum fraksi-fraksi, Presiden Gus Dur menyatakan akan menugaskan Wakil Presiden Megawati untuk melaksanakan tugas-tugas teknis pemerintahan sehari-hari, menyusun agenda kerja kabinet, dan menetapkan fokus serta prioritas pemerintahan yang pelaksanaannya akan dipertanggungjawabkan kepada presiden. Selain masalah tersebut, dalam laporan tahunannya presiden melaporkan akan segera merombak kembali kabinetnya.


c.    Proses Pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Pada tanggal 23 Agustus tahun 2000, setelah Presiden Gus Dur mengadakan sidang kabinet terakhir kabinet Persatuan Nasional II, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengumumkan perombakan kabinet di Istana Merdeka. Namun, Presiden tidak didampingi Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Ketidakhadiran Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri tersebut mengundang tanda tanya banyak pihak. Akibat pengumuman susunan kabinet baru tersebut, nilai tukar rupiah di pasar antarbank di Jakarta kembali melemah terhadap dolar AS. Meskipun Presiden bersikeras bahwa susunan kabinet itu berasal dari kalangan ahli atau profesional serta didukung sepenuhnya  oleh PPP, Golkar, ataupun PDIP, namun pengumuman kabinet baru tersebut disambut rasa terkejut dan kecewa sejumlah tokoh politik. Meskipun kompetensi personalia kabinet tersebut diragukan beberapa kalangan, akhirnya kabinet Persatuan Nasional II dilantik juga oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 26 Agustus 2000.

Ketegangan antara Presiden Gus Dur dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai meningkat saat munculnya kasus dugaan keterlibatan Presiden Gus Dur dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 milyar dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS yang lebih dikenal dengan nama skandal Bullogate dan Bruneigate. Atas dasar temuan skandal tersebut, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki kasus Bullogate dan Bruneigate. Meskipun  pembentukannya dinilai ilegal oleh Presiden, namun DPR dalam rapat paripurna pada tanggal 29 Januari 2001 menerima laporan hasil kerja Pansus Bullogate dan Bruneigate secara aklamasi. Dalam kesimpulannya, Pansus Bullogate dan Bruneigate yang diketuai oleh Bachtiar Chamsyah dari PPP menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid patut diduga berperan dalam pencairan dana dan penggunaan dana Yanatera Bulog serta dinyatakan inkonsistensi dalam pernyataannya mengenai aliran dana dari Sultan Brunei. 

Kasus Bullogate menyebabkan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan teguran keras kepada Presiden dalam bentuk memorandum I sampai II. Intinya agar Presiden Gus Dur kembali bekerja sesuai dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah diamanatkan. Pada Tanggal 1 Februari 2001, DPR mengadakan rapat paripurnanya kembali untuk memberikan tanggapan dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas hasil kerja pansus tersebut. Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sutardjo Surjoguritno (Fraksi PDI-P) tersebut, DPR akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan memorandum pertama kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Dari 445 anggota DPR yang hadir dalam rapat, 393 anggota dewan menerima hasil penyelidikan Panitia Khusus (Pansus), sedangkan 51 anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berasal dari Fraksi PKB serta PDKB menolak.

Selanjutnya, melalui Keputusan DPR No. XXXVI tanggal 1 Februari 2001, DPR secara resmi menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus Bullogate dan Bruneigate. Adapun tindak lanjut dari keputusan ini, antara lain adalah sebagai berikut.
1)    Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7, DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid telah melanggar haluan negara, antara lain
a)    Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan;
b)    Melanggar Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

2)    Hal-hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, DPR menyerahkan persoalan ini untuk diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Pada tanggal 28 Maret 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akhirnya menjawab memorandum pertama DPR di depan Sidang Paripurna DPR. Dalam jawabannya yang dibacakan oleh Menteri Kehakiman dan HAM Baharuddin Lopa, Presiden menganggap memorandum sebagai kenyataan politik yang tidak dapat dihindarkan. Namun, Presiden tidak menerima isi memorandum tersebut karena tidak memenuhi alasan konstitusional. Dalam jawabannya tersebut, Presiden tetap menyatakan  dirinya tidak bersalah dalam kasus Bullogate dan Bruneigate. 

Presiden juga menyatakan adanya kecendrungan perlakuan tidak adil dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hanya ingin menjatuhkan dirinya dengan alasan-alasan yang dipaksakan. Karena Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mengindahkan peringatan dari DPR, maka DPR meminta MPR menggelar Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban kinerja Presiden. Upaya pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semakin menguat setelah adanya kebijakan Presiden untuk mengangkat Komjen Pol. 

Chaeruddin Ismail sebagai pejabat sementara Kapolri menggantikan Jenderal S. Bimantara. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menganggap pelantikan Kapolri tersebut telah melanggar haluan negara dan membahayakan keselamatan negara serta menciptakan dualisme kepemimpinan POLRI. Sesuai aturan yang berlaku, pengangkatan jabatan setingkat Kapolri menjadi hak prerogatif Presiden. Namun, Presiden harus tetap berkoordinasi dengan DPR.

Pada rapat pimpinan DPR tertanggal 20 Juli 2001 pukul 21.00 WIB, dihasilkan  keputusan untuk mempercepat Sidang Istimewa MPR tanggal 21 Juli 2001 dan mengundang Presiden untuk memberikan pertanggungjawabannya pada tanggal 23 Juli 2001.Pada perkembangan selanjutnya, para pimpinan partai besar menemui Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 22 Juli 2001 untuk memberikan dorongan moril agar Wakil Presiden Megawati bersedia memegang tampuk pimpinan nasional. Presiden Gus Dur dalam menanggapi rencana Sidang Istimewa MPR ini berusaha mencari kompromi politik yang sama-sama menguntungkan.

Namun, jika sampai tanggal 31 Juli 1998 kompromi ini tidak didapatkan, Presiden Gus Dur akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya. MPR berencana menggelar Sidang Istimewa mulai tanggal 21 Juli 2001.Presiden direncanakan akan memberikan laporan pertanggungjawabannya pada tanggal 23 Juli 2001.Namun, Presiden menolak rencana tersebut dan menyatakan Sidang Istimewa MPR tidak sah dan ilegal. 

Langkah para pemimpin partai politik tersebut mendorong Presiden Gus Dur mengeluarkan Dekret Presiden tanggal 23 Juli yang berisi, antara lain sebagai berikut.
1)    Membekukan MPR dan DPR RI
2)    Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun.
3)    Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR memutuskan bahwa Dekret Presiden Gus Dur tersebut telah melanggar konstitusi. Setelah melalui proses persidangan yang rumit, 8 dari 11 fraksi MPR akhirnya menyetujui pemberhentian Presiden Gus Dur  dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI. Pengangkatan Megawati sebagai Presiden RI tersebut diperkuat oleh Tap MPR no. III/MPR/2001.Selanjutnya, pada malam itu juga dilakukan pelantikan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang kelima. Dalam pemilihan Wakil Presiden, terpilihlah Hamzah Haz dari partai PPP sebagai Wakil Presiden.

3.Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri




Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri


a.    Pembentukan Kabinet Gotong Royong

Pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan komposisi kabinet Gotong Royong. Anggota kabinet Gotong Royong merupakan para tokoh profesional dan para pendukung parpol pemerintahan koalisi. Tugas kabinet Gotong Royong adalah melaksanakan amanat reformasi menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Namun, kabinet baru ini juga harus menghadapi persoalan-persoalan lama yang belum terselesaikan pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yaitu dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

1)    Bidang Politik

Di bidang politik, duet Megawati-Hamzah Haz menghadapi ancaman disintegrasi bangsa. Selain itu, pemerintahan Megawati menghadapi mandeknya reformasi akibat ketidakpastian lingkup, arah, sasaran, dan tahapan waktu bagi pencapaiannya. Belum adanya landasan hukum yang kokoh bagi penyelenggaraan hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah adalah perintang bagi mandeknya proses reformasi.

2)    Bidang Ekonomi

Dalam bidang ekonomi, masalah yang cukup mendasar adalah terjadinya fluktuasi nilai tukar rupiah yang tidak terkendali dan belum tuntasnya upaya penyehatan perbankan nasional. Dua persoalan ekonomi tersebut menimbulkan  kesulitan perekonomian di sektor hilir, meluasnya pengangguran, dan menurunnya tingkat pendapatan serta daya beli masyarakat. Kegiatan investasi di sektor publik dan swasta juga melemah karena kurangnya kemampuan keuangan negara dan ketidakpastian kebijakan serta hukum.

3)    Bidang Sosial

Di bidang sosial juga telah terjadi kemerosotan kesetiakawanan sosial yang mengarah kepada terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. Di bidang penegakan hukum, cita-cita mewujudkan supremasi hukum dan tekad penegakan  hukum terhadap para pelaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih jauh dari harapan. Selain itu, kewibawaan hukum dan lembaga-lembaga penegak hukum dalam pandangan masyarakat semakin merosot. Oleh karena itu, sisa masa jabatan Presiden Megawati dilakukan untuk menyelesaikan masalah bangsa tersebut. 

Program kerja kabinet Presiden Megawati, antara lain yakni sebagai berikut.
a)    Mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

b)    Meneruskan proses reformasi dan demokratisasi dalam seluruh aspek kehidupan nasional, melalui kerangka, arah, dan agenda yang lebih jelas dengan terus meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

c)    Normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat.

d)    Melaksanakan penegakan hukum secara konsisten, mewujudkan rasa aman dan tenteram dalam kehidupan masyarakat, serta melanjutkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

e)    Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, memulihkan martabat bangsa dan negara serta kepercayaan luar negeri, seperti lembaga-lembaga pemberi pinjaman dan kalangan investor terhadap pemerintah.

f)     Mempersiapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 yang aman, tertib, bebas, rahasia, dan langsung.

Pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz ternyata mendapat dukungan dan antusiasme yang cukup besar dari berbagai elemen masyarakat. Selanjutnya, pada awal pemerintahan Megawati berbagai krisis politik, konflik antarelite politik, dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa mulai mereda. Nampaknya, tampilnya tokoh Megawati dianggap menyejukkan dan dapat melanjutkan proses reformasi yang pada saat itu hampir mandek. Meskipun demikian, selama masa pemerintahannya tidak sedikit pula pemerintahan Megawati menuai kritik pedas khususnya dari para lawan-lawan politiknya yang menganggap pemerintahan Megawati telah gagal mengentaskan bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis multidimensional yang telah berlangsung cukup lama. 

Selain itu, berbagai agenda reformasi yang menjadi agenda utama pemerintahannya juga masih terabaikan. Misalnya, belum tuntasnya penyelesaian kasus-kasus hukum mantan Presiden Suharto, merebaknya praktik-praktik KKN di lingkungan birokrasi pemerintahan, dan penyelesaian kasus-kasus HAM yang terkesan masih terkatung-katung, seperti kasus Trisakti, kasus Semanggi I, dan kasus Semanggi II. Selain itu, penyelesaian konflik-konflik etnik dan antargolongan serta gerakan-gerakan separatisme di berbagai daerah seperti Ambon, Poso, Aceh, dan Papua belum semuanya teratasi. Megawati juga dianggap telah gagal  dalam membina komunikasi politik selama pemerintahannya. 

Puncak dari berbagai kritikan terhadap kinerja Megawati tersebut terbukti dalam ajang pemilihan Presiden langsung oleh pemerintahan Megawati tahun 2004.Dalam Pemilu Presiden yang pertama secara langsung tersebut, Presiden Megawati berhasil dikalahkan oleh pesaing utamanya, Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung Partai Demokrat (PD).

Salah satu keberhasilan pemerintahan Megawati adalah penyelenggara Pemilu 2004.Pemilu 2004 diselenggarakan dalam 3 tahap. Pemilu tahap pertama untuk memilih anggota legislatif dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.Pemilu presiden putaran I untuk memilih Presiden dilaksanakan 5 Juli 2004, dan pemilu presiden putaran II dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.Dalam pemilu presiden pertama secara langsung tersebut, berhasil terpilih sebagai Presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden RI yakni Jusuf Kalla.

4.Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)




Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap
Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono


Pemilu Presiden pada tahun 2004 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla berhasil mengungguli keempat kandidat calon presiden dan wakil presiden yang dicalonkan oleh partai-partai besar, seperti Megawati dan Hasyim Muzadi yang dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Wiranto dan Sholahuddin Wahid yang dicalonkan Partai Golkar, Amien Rais dan Siswono Yudho Husodo yang dicalonkan Partai Amanat Nasional (PAN), serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Setelah dilantik oleh MPR, pasangan  SBY-JK segera  mengumumkan susunan kabinetnya yang diberi nama kabinet Indonesia Bersatu. Masalah-masalah yang menjadi program kerja bagi pemerintahan SBY, antara lain yakni sebagai berikut.

a.    Bidang Politik

Dalam bidang sosial dan politik, pemerintahan SBY-JK juga harus menghadapi berbagai persoalan menyangkut konflik-konflik antarsuku dan golongan, dan gerakan-gerakan separatis yang merupakan peninggalan dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Misalnya, konflik Ambon, Poso, Papua, serta Aceh. Dalam bidang politik dan birokrasi pemerintahan, pemerintahan SBY-JK harus pula menghadapi kenyataan masih kuatnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan birokrasi.

b.    Bidang Ekonomi

Masalah ekonomi yang harus diselesaikan oleh Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK adalah perekonomian yang belum pulih dari krisis ekonomi dan rentan guncangan-guncangan perekonomian global, masih rendahnya tingkat daya beli masyarakat Indonesia, tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS yang masih lemah.

c.    Bidang Sosial

Salah satu peristiwa yang menonjol di bidang sosial pada masa pemerintahan Presiden SBY adalah terjadinya bencana tsunami di Nangroe Aceh Darussalam. Pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi gempa disertai tsunami di Pulau Sumatera. Gelombang tsunami menyapu pesisir Sumatera, Malaysia, Thailand, Maladewa, Srilanka, Bangladesh, Kenya, Somalia, Tanzania, dan Myanmar. Korban tewas mencapai 300.000 orang. Ratusan ribu lainnya luka-luka. Korban terbesar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bencana tersebut menimbulkan keprihatinan dunia yang memberikan berbagai bantuan untuk memulihkan keadaan di Aceh pasca tsunami.

d.    Bidang Hukum

Di bidang hukum, berbagai pengungkapan serta penuntasan kasus-kasus korupsi serta HAM juga masih jauh dari harapan dan cita-cita reformasi. Dua tahun pemerintahan SBY-JK ditandai dengan beberapa prestasi. Dalam bidang politik dan keamanan telah tercapai penyelesaian konflik-konflik di Ambon, Poso, dan Aceh. Penyelesaian kasus Aceh dilakukan melalui penandatanganan kesepakatan perdamaian antara RI-GAM yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.




Demikianlah Artikel lengkap yang berjudul Perkembangan Politik, Hukum, dan Ekonomi pada Masa Reformasi Beserta Penjelasannya Terlengkap. Semoga dapat bermanfaat bagi Sobat Edukasi Lovers  semuanya. Jika artikel ini bermanfaat sudi kiranya bagi sobat semua untuk mengelike dan membagikan artikel ini untuk menjaga kelangsungan web pendidikan edukasinesia.com ini menjadi lebih baik. Jika ada permintaan, pertanyaan, kritik, maupun saran, silahkan berikan komentar sobat semua di kolom komentar di bawah ini.
Terima Kasih…
Salam Edukasi…