Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

 

Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia


Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia


Materi proses penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan sesuatu hal yang menarik untuk dibahas. Namun, sebelum masuk dalam pembahasan proses penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut, ada baiknya untuk diketahui terlebih dahulu apa itu makna atau definisi peraturan perundangan-undangan serta tata urutan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Sebagai negara hukum, berbagai bidang kehidupan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional adalah hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua komponennya yang saling menunjang satu sama lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945.


Dalam upaya mewujudkan sistem hukum nasional ini, pada Pasal 22 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwasanya “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Untuk memberikan penjabaran ketentuan Pasal 22 A tersebut, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, materi undang-undang tidak hanya mengatur tentang undang-undang saja, akan tetapi memuat juga peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 mempunyai pengertian peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara ataupun pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.


Tata urutan peraturan perundang-undangan memiliki makna bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai tingkatan atau hierarki. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas sebagai berikut ini: 

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4) Peraturan Pemerintah (PP)

5) Peraturan Presiden (Perpres)

6) Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi)

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota).


Peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan di atas dalam tata urutan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 di atas, berikut ini merupakan penjabaran selengkapnya:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai hukum dasar, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengikat setiap warga negara serta berisi norma dan ketentuan yang harus ditaati. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) juga merupakan sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan, dan merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sesuai dengan amanat pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah dilakukan sebanyak empat kali perubahan. Perubahan ini dilaksanakan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Terdapat tata cara dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar ini. Adapun tata cara perubahan Undang-Undang Dasar ditegaskan dalam pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara singkatnya yakni sebagai berikut ini:

1) Usulan perubahan pasal-pasal diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan disampaikan secara tertulis yang memuat bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

2) Sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

3) Putusan untuk mengubah disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.


Dan perlu untuk diketahui bahwasanya dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini terdapat beberapa kesepakatan dasar, antara lain yakni sebagai berikut:

1) Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

3) Mempertegas sistem pemerintahan presidensial

4) Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal bersifat normatif (hukum) akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.

5) Melakukan perubahan dengan cara adendum, artinya menambah pasal perubahan tanpa menghilangkan pasal sebelumnya. Tujuan perubahan bersifat adendum untuk kepentingan bukti sejarah.


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) 

Ketika MPRS dan MPR masih sebagai lembaga tertinggi negara, salah satu produk hukum MPR ialah Ketetapan MPR. Ketetapan MPR ialah putusan majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar majelis. Mengikat ke dalam memiliki arti mengikat kepada semua anggota majelis dan mengikat ke luar memiliki arti setiap warga negara, lembaga masyarakat dan lembaga negara terikat dengan Ketetapan MPR ini. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” ialah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud pada pasal 2 dan pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. 


Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. 1/MPR/2003 menegaskan bahwasanya beberapa ketetapan MPRS dan MPR yang masih berlaku dengan ketentuan ialah sebagai berikut.

1) Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh wilayah NKRI bagi PKI, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarluaskan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

2) Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.

3) Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.


Pada Pasal 4 Ketetapan MPR No. 1/MPR/2003 mengatur ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, yakni sebagai berikut:

1) Ketetapan MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.

2) Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 

3) Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.

4) Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Ketetapan ini saat ini sudah tidak berlaku karena sudah ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang hal ini.

5) Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

6) Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. 

7) Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

8) Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

9) Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

10) Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.

11) Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.


3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Undang-Undang ialah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ialah peraturan yang ditetapkan oleh presiden dalam hal kegentingan yang memaksa atau kondisi yang darurat. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ini mempunyai kedudukan yang setara. Dewan Perwakilan Rakyat ialah lembaga negara yang memegang kekuasaan atau kewenangan dalam membentuk undang-undang, dengan acuan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), akan tetapi kekuasaan ini haruslah dengan persetujuan presiden. Suatu rancangan undang-undang bisa diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden. DPD atau Dewan Perwakilan Daerah juga bisa mengusulkan rancangan undang-undang tertentu kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun proses pembuatan undang-undang ini, apabila rancangan diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), antara lain adalah sebagai berikut:


1) Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan rancangan undang-undang secara tertulis kepada presiden.

2) Presiden memberikan tugas kepada menteri terkait untuk membahas rancangan undang-undang bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

3) Apabila disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, maka tahapan berikutnya, rancangan undang-undang ini disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.


Sedangkan, proses pembuatan undang-undang, jika rancangan diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), tahapannya adalah sebagai berikut:

1) Dewan Perwakilan Daerah mengajukan usulan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk tertulis.

2) Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pembahasan rancangan undang-undang yang telah diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat.

3) Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan rancangan undang-undang dalam bentuk tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan tugas kepada menteri terkait untuk membahas rancangan undang-undang tersebut bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

4) Jika disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, maka tahapan berikutnya, rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.


Selain undang-undang, ada peraturan perundang-undangan yang sederajat status kedudukannya dengan undang-undang yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ialah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Presiden karena keadaan yang genting atau memaksa. Maksudnya yaitu Perppu diterbitkan apabila ada keadaan darurat dan perlu adanya payung hukum untuk melakukan suatu kebijakan pemerintah. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diatur pada Pasal 22 ayat 1,2, dan 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut ini:

1) Presiden berhak mengeluarkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

2) Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam masa persidangan berikutnya.

3) Apabila Perppu tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu harus dicabut.

4) Apabila Perppu mendapat persetujuan DPR, Perppu ditetapkan menjadi undang-undang.


4. Peraturan Pemerintah (PP)

Pada urutan yang keempat ada Peraturan Pemerintah (PP). Adapun pengertian dari Peraturan Pemerintah ini ialah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Adapun Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksana kepala pemerintahan. Peraturan Pemerintah ini disusun melalui serangkaian proses atau tahapan sebagai berikut ini:

1) Tahap perencanaan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) disiapkan oleh kementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian sesuai dengan bidang tugasnya.

2) Tahap penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah dengan membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian.

3) Tahap Penetapan dan pengundangan Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh Presiden (Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kemudian diundangkan oleh Sekretaris Negara.


5. Peraturan Presiden (Perpres)

Di urutan kelima yakni Peraturan Presiden (Perpres). Adapun pengertian atau definisi Perpres yakni peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Adapun proses atau tahapan penyusunan Peraturan Presiden atau Perpres ini ditegaskan pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, antara lain yakni sebagai berikut:

1) Pembentukan Panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian oleh pengusul.

2) Pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

3) Pengesahan dan penetapan oleh Presiden.


6. Peraturan Daerah Provinsi

Di urutan keenam ada Peraturan Daerah Provinsi. Adapun pengertian atau definisi dari Peraturan Daerah Provinsi ialah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provisi dengan persetujuan bersama Gubernur. Peraturan Daerah dibuat dengan tujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah Provinsi juga dibuat dengan tujuan untuk melaksanakan kebutuhan daerah. Peraturan Daerah Provinsi tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang kedudukannya lebih tinggi. Pemerintah Pusat memiliki kewenangan bisa membatalkan Peraturan Daerah Provinsi ini apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.


Jika rancangan Peraturan Daerah Provinsi diusulkan oleh Gubernur, proses atau tahapan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi ini antara lain yakni sebagai berikut:

1) Gubernur mengajukan Rancangan Perda kepada DPRD Provinsi secara tertulis.

2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur membahas Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.

3) Jika memperoleh persetujuan bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi ini disahkan oleh Gubernur menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi.


Proses atau tahapan Peraturan Daerah Provinsi sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai berikut.

1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Gubernur.

2) Jika rancangan diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, proses penyusunan antara lain yakni sebagai berikut:

a) DPRD Provinsi mengajukan rancangan peraturan daerah kepada gubernur secara tertulis.

b) DPRD Provinsi bersama gubernur membahas Rancangan Perda Provinsi.

c) Jika memperoleh persetujuan bersama, Rancangan Perda disahkan oleh gubernur menjadi Perda Provinsi.


7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Di urutan yang ketujuh yakni Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun pengertian atau definisi dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ialah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama. Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan sehingga peraturan daerah dapat berbeda-beda antara satu daerah dan daerah yang lainnya.


Adapun proses atau tahapan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai berikut ini:

1) Rancangan Perda Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh DPRD Kabupaten/Kota atau bupati/walikota.

2) Apabila rancangan diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, proses penyusunan ialah sebagai berikut:

a) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mengajukan rancangan perda kepada bupati/walikota secara tertulis.

b) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota membahas Rancangan Perda Kabupaten/Kota.

c) Apabila memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda disahkan oleh bupati/walikota menjadi Perda Kabupaten/Kota.


Apabila rancangan diusulkan oleh Bupati/Walikota, proses penyusunan ialah sebagai berikut:

1) Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Perda kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara tertulis.

2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota membahas Rancangan Perda Kabupaten/Kota.

3) Apabila memperoleh persetujuan bersama, Rancangan Peraturan Daerah disahkan oleh Bupati/Walikota menjadi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.