Sejarah Terjadinya Krisis Multidimensional sebagai Penyebab Lahirnya Gerakan Reformasi dan Jatuhnya Orde Baru |
Sejarah Terjadinya Krisis Multidimensional sebagai Penyebab Lahirnya Gerakan Reformasi dan Jatuhnya Orde Baru
Selamat Datang di Web Pendidikan edukasinesia.com
Halo
sobat Edukasi Lovers, senang sekali rasanya pada kesempatan kali ini saya dapat
membagikan artikel untuk menambah pengetahuan dan wawasan sobat Edukasi Lovers
semua. Artikel yang akan saya bagikan pada kesempatan kali ini berjudul Sejarah
Terjadinya Krisis Multidimensional sebagai Penyebab Lahirnya Gerakan Reformasi
dan Jatuhnya Orde Baru
Berikut Pembahasannya
Kekuasaan
yang sewenang-wenang cenderung korup dan kekuasaan yang korup cenderung
bersifat sewenang-wenang pantas dialamatkan kepada pemerintahan Orde Baru
pimpinan Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Kekuasaan Orde
Baru yang otoriter dan tidak demokratis ibarat sebuah bom waktu yang siap
meledak menjadi sebuah krisis di segala bidang. Krisis multidimensi yang melanda
negeri tercinta ini telah menjadi penyebab lahirnya gerakan reformasi dan
jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998.
Krisis multidimensional yang
melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun
kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat
banyak telah melahirkan krisis kepercayaan. Sebab-sebab berakhirnya pemerintahan
Orde Baru adalah ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi persoalan bangsa dan
negara, seperti krisis politik, ekonomi, sosial, dan hukum.
1.Krisis Politik
Pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto sejak tahun 1967 sampai dengan
tahun 1998 telah berhasil membawa kemajuan bagi pembangunan perekonomian
Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari perkembangan sejak tahun 1966 sampai tahun
1995, yaitu perekonomian Indonesia yang pernah terpuruk di awal tahun 1966
sedikit demi sedikit mulai bangkit. Kemajuan pesat ekonomi Indonesia tersebut
menyebabkan Indonesia disebut sebagai salah satu bukti keajaiban Asia. Namun, di
bidang politik, pemerintah Orde Baru gagal membina kehidupan politik yang
demokratis, terbuka, adil, dan jujur. Setahun sebelum pemilihan umum yang
direncanakan pada bulan Mei 1997, kehidupan politik Indonesia mulai
memanas.
Pemerintah yang didukung oleh Golkar (Golongan Karya), berusaha mempertahankan
kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum
sebelumnya. Di lain pihak, tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru oleh
masyarakat semakin berkembang. Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi
peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.Peristiwa itu sebagai akibat
pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi menyerbu
kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri. Peristiwa
itu menimbulkan kerusuhan yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan
korban jiwa.
Pada dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan
rekayasa politik yang dibangun pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru,
kehidupan politik sangat represif yang ditandai adanya tekanan yang kuat dari
pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir
kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, antara lain adalah sebagai
berikut.
a)
Setiap
orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan
subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dan anti-Pancasila).
b)
Pelaksanaan
Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
c)
Terjadinya
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak
memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
d)
Pelaksanaan
Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.
e)
Terciptanya
masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi
Presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa
dan tidak demokratis.
Pemerintahan
Orde Baru dianggap bersikap otoriter dan tertutup dalam perpolitikan
nasional. Akibat tindakan pemerintah Orde Baru ini kehidupan berbangsa dan
bernegara yang demokratis tidak pernah terwujud. Di lain pihak, Golkar (Golongan
Karya) yang menjadi partai terbesar pada masa itu telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mengamankan
kekuasaannya. Selain itu, dua partai politik lainnya, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dikendalikan oleh pemerintah sehingga peran kontrol politik dua
partai tersebut terhadap kebijakan pemerintah tidak berfungsi sama sekali.
Selain
itu, pemerintahan Orde Baru selalu melakukan intervensi terhadap kehidupan
internal partai politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Misalnya, ketika
Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai
ketua partai, maka pemerintah menolaknya dan mendudukkan Drs. Suryadi sebagai
ketua PDI yang diakui pemerintah.
Setelah
terbit atau keluarnya lima paket UU Politik maka kedua parpol tersebut
hak-haknya semakin dibatasi, sedangkan Golkar dan penguasa Orde Baru semakin
besar kekuasaannya. Akibat tidak adanya fungsi kontrol dari masyarakat maka
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merebak luas di dalam pemerintahan
Orde Baru (ORBA) karena banyak pejabat Orde Baru yang terlibat di dalam praktik
KKN tersebut.
Selain itu, anggota DPR/MPR tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik untuk bersikap kritis pada pemerintah karena keanggotaannya
ditentukan oleh pemerintah. Sikap pemerintah Orde Baru yang otoriter, tertutup,
dan tidak demokratis serta merebaknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) menimbulkan krisis kepercayaan di dalam masyarakat. Gejala ini mulai
tampak dalam pemilu 1992 di mana suara Golkar berkurang cukup drastis. Sejak
tahun 1996 ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah Orde Baru mulai
muncul. Munculnya tokoh vokal seperti Amien Rais serta lahirnya gerakan
mahasiswa semakin memperbesar keberanian masyarakat untuk melakukan kritik
tajam terhadap pemerintahan Orde Baru, terhadap masalah Dwi Fungsi ABRI,
praktik KKN, pelanggaran HAM, praktik monopoli, dan 5 Paket UU Politik.
Sejak
awal tahun 1996, muncul gugatan yang makin keras terhadap Paket Lima
Undang-Undang Politik oleh kelompok mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), dan para cendekiawan. Pada saat sama, gugatan yang makin gencar juga
dilakukan terhadap praktik monopoli, nepotisme, kolusi, serta korupsi dan
Dwifungsi ABRI yang menimbulkan peran sosial politik tentara yang besar dalam
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, masyarakat juga
menuntut adanya pembatasan waktu dalam jabatan kepresidenan. Ketegangan politik
menjelang pemilihan umum 1997 semakin memicu munculnya kerusuhan baru sehingga
terjadi ketegangan antaragama dan etnik yang berbeda.
Pada bulan Maret 1996,
terjadi kerusuhan di Pekalongan yang kemudian meluas ke berbagai wilayah di
Indonesia. Kerusuhan yang banyak menimbulkan korban jiwa juga terjadi di
Banjarmasin pada hari terakhir kampanye pemilihan umum 1997.Setelah pemilihan
umum 1997, rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah Orde Baru
sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal 2
UUD 1945 berbunyi bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Namun, dalam kenyataannya,
kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu. Anggota MPR sudah diatur dan
direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan
kekeluargaan (nepotisme).Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila anggota
MPR/DPR terdiri atas para istri, anak, dan kerabat dekat para pejabat
negara. Kabinet Pembangunan VII yang dibentuk setelah Sidang Umum MPR bulan
Maret 1998 dianggap masih membawa ciri korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN).Berbagai tekanan terhadap kepemimpinan Presiden Suharto makin meluas,
terutama yang dilakukan oleh para mahasiswa dan intelektual sejak bulan April
1998.
2.Krisis Ekonomi
Di
tengah-tengah situasi politik pada tahun 1998 tersebut, sebuah persoalan lain
dihadapi oleh Indonesia. Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas
krisis moneter yang menimpa dunia, khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi
nasional Indonesia pada saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis
global tersebut. Akibat krisis moneter, adalah sebagai berikut.
a)
Kurs
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah pada tanggal 1 Agustus 1997.
b)
Pemerintah
melikuidasi enam belas bank bermasalah pada akhir tahun 1997.
c)
Pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi empat puluh
bank bermasalah lainnya. Pemerintah mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) untuk membantu
bank-bank bermasalah tersebut. Dalam kenyataannya, terjadi manipulasi besar-besaran
terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Keadaan tersebut mengakibatkan
pemerintah harus menanggung beban utang yang sangat besar dan kepercayaan dunia
internasional terhadap Indonesia semakin menurun.
d)
Perusahaan
milik negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang
telah jatuh tempo.
e)
Angka
pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karena banyak perusahaan yang
melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya sama sekali.
f)
Persediaan
barang nasional, khususnya sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada
akhir tahun 1997.Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan hal
itu berarti biaya hidup juga makin tinggi.
Badai
krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara telah merembet ke Indonesia
hingga sejak bulan Juni 1997 Indonesia mulai terkena dampak krisis
moneter. Akibat permainan para spekulan nilai rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat terus menurun. Pada bulan Agustus 1997, nilai tukar rupiah merosot dari
Rp2.575,00 menjadi Rp2.603,00 per dolar Amerika Serikat. Bulan April 1998 kurs
rupiah terhadap dolar semakin melemah sehingga menjadi Rp10.000 per dolar AS dan pada tanggal 19 Mei 1998
kurs rupiah menjadi Rp15.000,00 per dolar AS. Ketika nilai tukar rupiah semakin
melemah, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0 persen karena fundamental
ekonomi Indonesia tidak mampu menahan gempuran krisis moneter. Selain itu,
pendapatan per kapita masyarakat menurun menjadi 400 dolar AS.
Akibat krisis
moneter banyak dilakukan pemutusan hubungan kerja akibat banyaknya perusahaan
yang tidak bisa melanjutkan usahanya dan melakukan PHK terhadap para karyawan
sehingga tingkat pengangguran meningkat drastis. Selain itu, jumlah penduduk
miskin terus bertambah karena akibat krisis ekonomi terjadi penurunan daya beli
masyarakat korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).Di lain pihak, kepercayaan
kreditor internasional semakin
berkurang karena banyaknya perusahaan
swasta yang tak mampu membayar hutang luar negeri yang telah jatuh tempo. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah membentuk tim ekonomi guna membicarakan
utang-utang swasta yang telah jatuh tempo.
Untuk mengatasi krisis ekonomi
tersebut maka pemerintah menandatangani paket pemulihan ekonomi dengan pihak
IMF. Paket pemulihan Ekonomi IMF tersebut diwujudkan dengan penandatanganan 50
butir kesepakatan IMF (Letter of Intent) dengan pemerintah. Salah satu butir
kesepakatan tersebut adalah mengurangi subsidi dengan menaikkan harga BBM. Beban
kehidupan masyarakat semakin berat ketika pemerintah pada tanggal 12 Mei 1998
mengumumkan kenaikan harga BBM dan tarif angkutan. Naiknya harga BBM dan tarif
angkutan mendorong kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok sehingga
kondisi masyarakat semakin sulit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Beban
masyarakat yang semakin berat serta tidak adanya kepastian kapan berakhirnya
krisis yang menimpa Indonesia menyebabkan masyarakat mengalami krisis
kepercayaan pada pemerintah. Krisis moneter ternyata tidak hanya menimbulkan
masalah keuangan bagi Indonesia. Selanjutnya, krisis moneter di Indonesia
berkembang menjadi krisis sosial, krisis hukum, dan krisis politik.
3.Krisis Sosial
Krisis
politik dan ekonomi yang berkembang di Indonesia mendorong terjadinya krisis di
bidang sosial. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akibat tidak
mampu mengatasi krisis ekonomi yang menghimpit bangsa Indonesia mendorong
perilaku masyarakat yang cenderung negatif. Sepanjang tahun 1996, telah terjadi
pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat. Kerusuhan terjadi
dimana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jawa Timur), bulan
Desember 1996 di Tasikmalaya (Jawa Barat) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke
Singkawang dan Pontianak (Kalbar).Ketegangan politik terus berlanjut sampai
menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik antaretnik dan
agama. Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng).Bahkan,
kerusuhan di Banjarmasin memakan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.
4.Krisis Hukum
Kekuasaan
kehakiman yang bebas dari kekuasaan pemerintahan belum dapat direalisasikan
pada masa Orde Baru. Bahkan, dalam praktiknya, kekuasaan kehakiman menjadi
pelayan kepentingan para penguasa dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila seseorang yang dianggap bersalah bebas dari hukuman dan
seseorang yang dianggap tidak bersalah malah harus masuk ke penjara. Selama
rezim Orde Baru berkuasa, fungsi lembaga tinggi negara dan organisasi sosial
politik, cenderung berjalan kurang efektif karena kekuasaan lembaga kepresidenan
sangat dominan. Kedudukan Presiden yang merangkap sebagai kepala pemerintahan,
mandataris MPR, dan kepala negara benar-benar terwujud sebagai kekuasaan yang
absolut.
Hal tersebut terjadi karena fungsi kontrol yang dijalankan oleh DPR dan
penegakan hukum yang dijalankan oleh MA tidak dapat berfungsi dengan baik
karena hegemoni lembaga kepresidenan di bawah kepemimpinan Presiden
Suharto. Memang harus diakui bahwa sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak
dapat dijadikan barometer untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas
dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Oleh karena itu, bersamaan dengan krisis
moneter, ekonomi, dan politik, juga terjadi krisis di bidang hukum
(peradilan).Keadaan tersebut menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto.
Krisis
hukum pada masa Orde Baru juga tercermin dari terjadinya berbagai praktik
pelanggaran HAM, seperti pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) di Aceh,
penumpasan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, terjadinya kasus Marsinah,
kasus Way Jepara di Lampung, dan penculikan aktivis mahasiswa reformasi. Kasus
pelanggaran HAM berupa pembunuhan, penculikan, penyiksaan, dan penghilangan
secara paksa tersebut merupakan dampak pendekatan keamanan yang dilakukan ABRI
dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.
Demikianlah
Artikel lengkap yang berjudul Sejarah Terjadinya Krisis Multidimensional sebagai Penyebab
Lahirnya Gerakan Reformasi dan Jatuhnya Orde Baru. Semoga dapat bermanfaat bagi Sobat
Edukasi Lovers semuanya. Jika artikel ini
bermanfaat sudi kiranya bagi sobat semua untuk mengelike dan membagikan artikel
ini untuk menjaga kelangsungan web pendidikan edukasinesia.com ini menjadi lebih baik. Jika ada
permintaan, pertanyaan, kritik, maupun saran, silahkan berikan komentar sobat semua
di kolom komentar di bawah ini.
Terima Kasih…
Salam Edukasi…