Mahkamah Agung: Pengertian, Fungsi, Tugas, Wewenang, Susunan, Penjelasan Terlengkap


Mahkamah Agung: Pengertian, Fungsi, Tugas, Wewenang, Susunan, Penjelasan Terlengkap
Mahkamah Agung


Mahkamah Agung: Pengertian, Fungsi, Tugas, Wewenang, Susunan, Mekanisme Pengangkatan& Pemberhentian, serta Kedudukan


1. Pengertian Mahkamah Agung (MA)

Apa itu Mahkamah Agung? I Mahkamah agung ialah sebuah lembaga yang tertinggi di dalam sistem tata negara Republik Indonesia dalam hal kekuasaan kehakiman. Mahkamah agung adalah sebuah lembaga tertinggi yang membawahi berbagai badan peradilan. Adapun badan-badan peradilan tersebut yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Di negara Republik Indonesia ini, Mahkamah Agung ialah lembaga tinggi dalam kekuasaan kehakiman yang bersama dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga tinggi negara dalam bidang kekuasaan kehakiman ini adalah salah satu lembaga yang bebas dari berbagai macam cabang kekuasaan lembaga-lembaga lainnya. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung (MA) ini berdiri sendiri dan bebas dari intervensi pihak manapun.

2. Fungsi Mahkamah Agung

Apa fungsi Mahkamah Agung? Mahkamah Agung (MA) sebuah lembaga tinggi negara yang memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu:

a. Fungsi Peradilan 

Mahkamah Agung memiliki fungsi peradilan yang terdiri atas:

1) Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia diterapkan secara adil, tepat, dan benar;

2) Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung (MA) berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir;
Semua sengketa tentang kewenangan mengadili. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985);
Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang;
Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).

3) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan adalah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan di bawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

b. Fungsi Mengatur

Mahkamah Agung juga memiliki fungsi mengatur yang terdiri atas:
1) Mahkamah Agung (MA) dapat mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan ataupun kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985);

2) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-Undang.

c. Fungsi Pengawasan 

Mahkamah Agung juga memiliki fungsi pengawasan yang terdiri atas:
1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970);

2) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan;


3) Mahkamah Agung juga melakukan tindakan pengawasan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985);

4) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap Penasehat Hukum dan Notaris, sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).


d. Fungsi Administratif

Mahkamah Agung juga memiliki fungsi administratif yang terdiri atas:
1) Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada di bawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung;

2) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).


e. Fungsi Nasehat

Mahkamah Agung juga memiliki fungsi nasehat yang terdiri atas:
1) Mahkamah Agung memberikan nasehat-nasehat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985). 
Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya;

2) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 25 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).


3. Tugas Mahkamah Agung (MA)

Apa tugas dari Mahkamah Agung? Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara mempunyai beberapa tugas, antara lain yakni sebagai berikut ini:

a. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
b. Mengawasi dengan cermat semua perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan;
c. Untuk kepentingan negara dan keadilan Mahkamah Agung memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang dipandang perlu baik dengan surat tersendiri, maupun dengan surat edaran;
d. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.


4. Wewenang Mahkamah Agung

Apa wewenang Mahkamah Agung? Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara memiliki beberapa kewenangan, antara lain yakni sebagai berikut:
a. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi, “terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan”;
b. Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. Memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
d. Menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang;
e. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan;
f. Memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. Memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua lingkungan Peradilan, dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.


5. Susunan Mahkamah Agung Di Indonesia

Mahkamah Agung (MA) merupakan sebuah lembaga tinggi yang berperan dalam hal kehakiman, dan keputusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung harus bebas dari pengaruh atau intervensi dari pihak lain. Mahkamah Agung ialah sebuah lembaga tertinggi bidang kehakiman yang berada di Indonesia yang memiliki wewenang memberi keputusan final suatu masalah ataupun perkara. Supaya Mahkamah Agung dapat menjalankan tugasnya dengan baik maka Mahkamah Agung terdiri dari struktur organisasi yang sistematis dan rapi. 

Mahkamah Agung memiliki struktur kepengurusan yang jelas. Susunan pengurus Mahkamah Agung di Indonesia terdiri dari pimpinan, hakim anggota, kepaniteraan Mahkamah Agung dan sekertariat Mahkamah Agung. Diharapkan dengan adanya struktur kepengurusan yang jelas ini maka akan dapat mempermudah kinerja Mahkamah Agung sebagai sebuah lembaga kehakiman yang tertinggi di Indonesia.


6. Mekanisme Pengangkatan Hakim Agung

Bagaimana mekanisme pengangkatan Hakim Agung? Ada perbedaan mekanisme pengangkatan Hakim Agung pada masa sebelum reformasi dan setelah reformasi dengan amandemen UUD 1945. Pada masa orde lama proses pengangkatan Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu Eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, Yudikatif (Mahkamah Agung), dan Legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. 

Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua, dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari sekurang-kurangnya 2 calon bagi tiap-tiap pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa orde lama meski melibatkan lembaga negara lainnya yaitu DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden). Salah satu penyimpangan dan politisasi pemilihan Hakim Agung yang sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya Eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah  dengan diangkatnya dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38. 

Meskipun Ketua Mahkamah Agung pada saat itu berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah. Namun secara birokrasi Mahkamah Agung telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya serta sangat dimungkinkan pengaruh dari eksekutif. Pada masa orde baru, proses pengangkatan Hakim Agung diawali dengan diadakannya forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan pemerintah yang biasanya dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah Agung dan Departemen (MahDep). 

Forum Mahkamah Agung dan Departemen (MahDep) ini adalah sebuah forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dan Departemen dalam membicarakan daftar kandidat Hakim Agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung dan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat. Biasanya Mahkamah Agung berinisiatif memberikan nama-nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu. 
Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan Mahkamah Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. 

Namun dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung seringkali memegang kontrol yang dominan dalam menentukan nama-nama calon yang dimasukkan dalam proposal. Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam forum Mahkamah Agung dan Departemen. Pada saat melakukan presentasi, biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan misalnya dengan memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung dibahas, kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian diangkat sebagai Hakim Agung oleh Presiden. 

Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwasanya peran Forum Mahkamah Agung dan Departemen dalam pengangkatan Hakim Agung ini jauh lebih dominan apabila dibandingkan dengan peran DPR. Hal ini terkait dengan lemahnya posisi DPR dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah. Setelah tahun 1998 terjadi reformasi. Kata ‘Reformasi’ tiba-tiba menjadi hangat untuk dibicarakan, antara lain ‘reformasi ekonomi’, ‘reformasi politik’, ‘reformasi hukum’ dan lain-lain menjadi bahan pembicaraan berbagai kalangan baik kalangan pemerintah, LSM, kampus hingga rakyat. 

Semua pihak mendambakan reformasi yang menyeluruh agar bisa keluar dari krisis ekonomi pada saat itu. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 yakni:
a. Kajian dan forum ilmiah;
b. Perancangan peraturan;
c. Implementasi peraturan;
d. Pelatihan hukum;
e. Advokasi dan kesadaran masyarakat;
f. Lembaga hukum;
g. Penyusunan rencana.

Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Setelah dilakukannya amandemen, mekanisme pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung berbeda dari hakim biasa. Calon Hakim Agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan dalam Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi:
“Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”.

Keberadaan Komisi Yudisial (KY) menjadi penting dalam upaya pembaruan peradilan, termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial ini di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung (MA) untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka pembaruan badan peradilan. Komisi Yudisial (KY) ini bertindak sebagai pengusul, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat bertindak sebagai pemberi persetujuan atau penolakan dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 

Dari ketentuan tersebut jelas bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan ‘fit and proper test’  (uji kelayakan dan kepatutan) dan pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang dicalonkan oleh Komisi Yudisial (KY). Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa calon hakim agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan keputusan Presiden. Hak untuk menyetujui atau menolak ini disebut sebagai hak konfirmasi yang dimiliki oleh DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik yang dipandang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak oleh Presiden. 

Oleh karena itu fungsi pengawasan oleh DPR itu dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan legislatif berupa tindakan implementasi Undang-Undang, penjabaran pengaturan UU dalam peraturan pelaksanaan yang lebih operasional dan dalam bentuk pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sewenang-wenang oleh Presiden. Dengan demikian calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial cukup sebanyak yang diperlukan, namun apabila tidak mendapat persetujuan dari DPR, barulah kemudian diajukan lagi alternatif calon penggantinya. Setelah DPR menyatakan persetujuannya barulah kemudian calon Hakim Agung itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan dilantik di istana dengan disaksikan oleh Presiden. 

Dengan demikian pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung ini melibatkan semua fungsi kekuasaan yang terpisah yakni Komisi Yudisial sebagai lembaga administratif, DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif dan Presiden sebagai cabang dari kekuasaan eksekutif.


7. Pemberhentian Hakim Agung

Hakim Agung dapat diberhentikan di tengah jabatannya dalam hal apabila Hakim Agung tersebut melakukan suatu pelanggaran. Komisi Yudisial (KY) berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap Hakim Agung. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik maka terhadap Hakim Agung yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya. Dalam hal Hakim Agung melakukan pelanggaran berat, baik pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum yang menyebabkannya terancam sanksi pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana mestinya. 

Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui dan menerima usul pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan menolak usul pemberhentian tersebut, maka sanksi pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat dilaksanakan dan Komisi Yudisial wajib mengadakan penyesuaian terhadap keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya. Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat maka Komisi Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif dengan Keputusan Presiden. 

Untuk mengisi kekosongan, Komisi Yudisial segera mengajukan usul calon pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan sebelum diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung sebagaimana mestinya. Adapun maksud dibentuknya Komisi Yudisial ini dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semuanya dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim. 

Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Adapun yang dimaksud dalam hal merangkap jabatan disini antara lain:
a. Wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkaran yang diperiksa olehnya;
b. Pengusaha;
c. Advokat.

Dalam hal hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain Hakim yang merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang saham perseoran atau mengadakan usaha perdagangan lain. Di dalam pasal 23 ayat (1) UU KY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat diberikan oleh Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yakni:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian.

8. Kedudukan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan tertinggi dari semua lembaga peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari intervensi pemerintah dan intervensi pihak-pihak lainnya. Mahkamah Agung membawahi 4 badan peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2 yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitutsi, namun Mahkamah Konstitusi tidak sama seperti Mahkamah Agung, karena Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan. 

Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara yang merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan dimana dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan intervensi pihak lainnya. Mahkamah Agung (MA) berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia (UU No. 14 Tahun 1985 Pasal 1,2,3).